Pangeran Diponegoro & Masalah Kepemimpinan Nasional

Pangeran Diponegoro & Masalah Kepemimpinan Nasional

Pertama. Menurut Prof. Subur Boedhisantoso, “Kelangsungan hidup suatu kelompok sosial – betapapun kecilnya tergantung pada keberhasilannya mempersiapkan generasi penerusnya”. Kedua. Menurut Prof. Carey berdasarkan kajiannya terhadap kehidupan Pangeran Diponegoro, “Seorang Pemimpin dididik bukan dilahirkan (A leader made not born)”.

Perjalanan Hidup Diponegoro merupkan lintasan budaya (kata yang digunakan oleh Tony Rudyansjah, namun oleh Carey dinyatakan sebagai hijrah) yang dilalui oleh Pangeran Diponegoro sejak kecil hingga dewasa. Berikut ini perjalanan hidup Diponegoro:
•    Kehidupan di dalam istana hingga usia 7 tahun
•    Kehidupan di pedesaan bersama neneknya yang memiliki darah Bima dan Madura
•    Kehidupan di pesantren, serta
•    Kehidupan masa kolonialisme baru

Perjalanan hidup ini memupuk kecerdasan dan membentuk watak Diponegoro. Diponegoro mampu melihat struktur sosial serta berbagai fenomena sosial budaya dalam masyarakatnya lebih jernih. Memiliki sifat Jujur, teguh dalam pendirian, tegas, empati, bersahaja, dan mendahulukan kepentingan rakyat dari kepentingan dirinya.

Menurut Residen Inggris, John Crawfurd dalam Babad Bedhah Ing Ngayogyakarta: Diponegoro seorang yang cerdik, murah hati, dan bersemangat.

Menurut Subur Boedhisantoso, watak Diponegoro mencerminkan: kecerdasan, kesantunan, Kebersihan. Sebagai manusia Jawa (Karsono H. Saputra), ada beberapa prinsip hidup Diponegoro: Dalam memerankan diri maupun sebagai bangsawan harus: memayuu hayuning bawana – menjaga keselarasan dunia”, sumarah marang Hyang Suksma – berserah diri kepada Allah SWT, Sabda andhita Ratu Datan kena Wola wali – ucapan pandita dan raja tak akan berubah-ubah. Yen ngandika sapisan tan kenging wangsuli -apabila berkata, hanya sekali, tak bisa berubah berbudi bawa leksana – memiliki kebiasaan memberi hadiah dan satu kata dengan perbuatan, sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pecahing dhadha wutahing ludira – setitik kening dan sejengkal tanah dibela hingga dada pecah dan darah tertumpah. Dalam keadaan malu dan tersinggung tetap mengutamakan kewajiban, mikul dhuwur mendhem jero – menjaga nama baik keluarga; ora mingkuh ing gawe- tidak menghindar dari kewajiban yang diembannya.

Perang Diponegoro, menurut Subur Boedhisantoso, harus dimaknai sebagai penanaman Nasionalisme (walaupun terbatas). Karena perang ini merupakan upaya menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan umum atas dasar nilai-nilai budaya luhur dan keyakinan keagamaan. Perang Diponegoro menurut Carey menjadi model bagi perang setelahnya dalam memperjuangkan Kebangsaan. Bondan Kanumoyoso: Kemampuan Diponegoro untuk mengartikulasi berbagai permasalahan dalam masyarakat saat itu telah membuat perang Diponegoro tidak dimaknai sebagai perang individu atau kelompok, tetapi perjuangan terhadap ketidakadilan.

Dalam memaknai perjuangan Diponegoro, hendaknya dikaitkan dengan pendidikan dan pembentukan karakter bangsa yang kuat (Subur Boedhisantoso). Perjalanan hidup yang melampaui berbagai lintasan budaya, mematangkan kecerdasan dan watak Pangeran Diponegoro.Pangeran Diponegoro dapat dikatakan sebagai manusia Jawa dengan multikultur.

Maka pertanyaan penting yang harus dijawab oleh Bangsa Indonesia adalah: Apakah kita sudah memberi ruang- ruang bagi terciptanya manusia Indonesia yang multikultur?

Menurut Carey bahwa “seorang pemimpin dididik bukan dilahirkan (a leader made not born)”, dan Pernyataan Subur Boedhisantoso bahwa perjuangan melawan penjajah tidak sesulit mempersatukan penduduk Indonesia yang pluraristik. Diperlukan simbol pemersatu yang memiliki kekuatan perekat (integrative factor).

Pengertian Kepemimpinan menurut beberapa Pemimpin:

  • Nelson Mandela: ‘Real leaders must be ready to sacrifice all for the freedom of their people‘
  • Douglas MacArthur: “A True leader has the confidence to stand alone, the courage to make tough decision, and the compassion to listen to the need of others.    He does not set out to be leader, but becomes one by the equality of his actions and the integrity of his intent”
  • Benyamin Disraeli: “I must follow the people. Am I not their leader?”

Foto:www.berdikarionline.com/cdn/2014/06/Indonesia.jpg.jpg

Previous PEMIMPIN NASIONAL SEBAGAI RATU ADIL
Next Diponegoro Dalam Sejarah Nasional Indonesia

You might also like

KML

Press Release: Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017

Press Release: Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017 Kemajemukan dan Keadilan Kita dibiasakan untuk mengidentikkan kemajemukan dengan kerukunan, harmoni, persatuan. Pada kenyataannya, kemajemukan Indonesia merupakan produk dari kesinambungan sejarah yang tak luput

KML

Koentjaraningrat Memorial Lecture XVI/2019 : PERUBAHAN IKLIM DAN ANTISIPASI PERILAKU BUDAYA UNTUK MASA DEPAN

Dalam kuliah umum ini, dua pembicara akan menyampaikan pandangan masing-masing tentang krisis iklim yang tengah terjadi. Para pembicara diharapkan menyampaikan paparan yang bersifat dialogis, yang memperlihatkan paradoks, kontras, ironi, hambatan,

KML

KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURES XVII/2020: Menerawang Peradaban dan Kemanusiaan Pasca Pandemi Covid-19

Pandemi bukan baru. Covid-19 adalah wabah besar ke-16 yang tercatat dalam sejarah. Berkaca pada masa lalu, pada tahun 430 SM atau 2.430 tahun silam, terjadi wabah di Athena yang memusnahkan

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply