PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DAN KEBUDAYAAN
PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DAN KEBUDAYAAN
Kumpulan kelompok pengusaha dengan latarbelakang kegiatan industri, bersama masyarakat dan pemerintah dapat membentuk suatu masyarakat Madani (civil society). Kegiatan industri sendiri membutuhkan tenaga kerja dengan disiplin yang ketat. Disini manusianya dengan kelompok budayanya tak lepas dari ethos, yaitu ekspresi sistem organisasi dari instink dan emosi yang baku secara budaya (George Bateson, 1973). Ujud dari ethos menampilkan suatu keseragaman adalah pola kerja yang tampak dari ritme tubuh tindakan dan kegiatannya. Lebih jauh lagi, hal ini dapat membantu membentuk suatu iklim organisasi (organizational climate) yang diharapkan berproduksi tinggi karena sifatnya yang serempak. Syarat disiplin ini berlaku umum dan diterima melintasi dunia (globe).
Globalisasi di abad XVIII terjadi dalam hitungan bulan atau waktu yang lambat. Contohnya berupa penguasaan dan pengiriman rempah-rempah dari Maluku ke Eropa, juga pengiriman kapas dan produk tekstil seperti Calico dan Muslin dari India ke Inggris. Globalisasi saat ini adalah proses dan kegiatan yang melintasi dunia dalam hitungan jam, menit dan bahkan detik. Globalisasi saat ini adalah gerakan dengan kecepatan dan mobilitas yang tinggi terisi oleh benda yang relative ringan, berita dengan kalimat kalimat singkat yang berisi perintah. Perintah perintah itu menugaskan “pencairan” uang atau “penghentian” pengaliran uang. Perintah tersebut juga terkait dengan pemilik modal dari negara asing yang menuntut pola kerja yang ketat dan disiplin. Pola kerja ketat dan disiplin ini adalah unsur yang memberikan kepastian dalam pelaksanaan kerja di wilayah yang jauh dari lokasi pemilik modal. Implikasi disini adalah bahwa sebuah kegagalan dihindari sejak awal. Bateson menyebutkan bahwa Kurt Lewin ahli psikologi Jerman yang di masa Hitler mengungsi ke Amerika, membedakan karakter orang Jerman dan Amerika. Seorang Amerika yang gagal akan tetap didorong untuk mencoba lagi, namun seorang Jerman yang gagal akan dilarang melakukan lagi. Mungkin ini yang menyebabkan Amerika senang mengambil risiko dan Jerman sangat hati-hati.
Profesor Gumilar dalam keynote adressnya mempersoalkan kaitan pemulihan Indonesia dari efek krisis moneter dengan pembangunan karakter bangsa bagi Indonesia. Ia mempertanyakan, seperti apa karakter orang Indonesia yang mampu menghadapi globalisasi. Pertanyaan lebih jauh adalah bagaimana pembentukan karakter bangsa di tengah keanekaragaman penduduk Indonesia.
Selly Riawanti membahas mengenai pendidikan generasi muda. Secara sederhana generasi muda berada pada usia 15 s/d 24 tahun. Kesempatan pendidikan merupakan hal yang penting bagi generasi muda ini. Ada kebijakan wajib belajar, yang kini ditunjang oleh kebijakan biaya sekolah gratis bagi penduduk yang kurang mampu. Tetapi dalam praktek, memasukkan anak ke sekolah tetap saja sulit bagi banyak penduduk Indonesia. Mungkin sistem pendidikan Indonesia tak lebih dari mesin-mesin reproduksi struktur sosial ekonomi yang memang timpang, hingga hanya yang memiliki dana yang boleh sekolah. Pendidikan belum menjadi sarana yang bersifat emansipatoris yang bisa memperbaiki nasib. Lebih jauh lagi, berbeda dengan kisah yang dikemukakan dalam cerita karya Andrea Hirata (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor). Kisah dari Hirata bukanlah dimaksud untuk membiarkan bahwa pembangunan harus berlangsung di daerah “Indonesia Dalam” saja atau Jawa, namun untuk lebih memperhatikan daerah daerah yang berada di ”pinggir”, di “batas” negara atau yang terisolir di sebuah lembah alias “ketiak gunung” jauh dari jangkauan pemerintahan. Maukah pemerintah menggantikan romantisme-heroisme “Sokola” di daerah Riau menjadi dedikasi dengan tanggung jawab penuh dari pemerintah? Siapkah pemerintah membentuk karakter seperti “Ikal” dalam seperti Laskar Pelangi dengan daya juang yang tinggi untuk selalu belajar walaupun berhenti sekolah, bahkan berapapun usianya?
Ahmad Fediani Saifudin mengemukakan mengenai kajian karakter bangsa yang sudah ada sejak masa koloni. Jika karakter bangsa adalah kumpulan keribadian yang menampilkan suatu karakter sukubangsa maka ada istilah seperti Appolonian, Dyonisian. Appolonian adalah karakter yang sabar sedangkan Dyonisian adalah yang kasar dan menggebu-gebu. Kajian karakter tersebut dilakukan dengan tujuan:
a. Memperkokoh kekuasaan kolonial
b. Mengalahkan musuh dalam peperangan
c. Mengidentifikasi potensi lawan
Ahmad Fedyani mengusulkan mengenai kajian kedepan yaitu, untuk kepentingan welfare state dan nation state. Dilihat secara kritis yang belum dikemukakan adalah bahwa kajian karakter bangsa dapat saja diselewengkan untuk kajian potensi pasar bagi pemilik modal.
Johz Manzoben menyampaikan mengenai perubahan pola pemerintahan dan penyimpangan yang terjadi di daerahnya. Jika Irian barat dahulu satu satu propinsi, maka kini terpecah menjadi dua propinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Kemudian, jika dahulu ada 14 kabupaten maka kini ada 34 kabupaten. Hal ini mengarah pada pola pelaksanaan pemerintahan dan pimpinannya. Pimpinan pemerintahan daerah dipengaruhi oleh gagasan Otonomi Daerah yang mensyaratkan dipegang oleh Putra Daerah. Pelaksanaan pemerintahan tetap dilakukan oleh seorang pimpinan (bupati) dengan wakilnya. Seperti yang juga berlaku juga di bagian lain di Indonesia, Pimpinan ini dalam kenyataannya menghadapi harapan (expectation) dari banyak pihak. Pihak pertama adalah rakyat yang menjadi tanggungjawabnya, pihak kedua adalah kelompok yang memilihnya (atau partainya) dalam pilkada, pihak ketiga adalah kerabatnya. Birokrasi pemerintahan seperti dalam tulisan Qodri Azizi disini sering terperangkap dalam hubungan yang harus melayani atasan. Hal ini tak lepas dari masalah government dan governmentality yang banyak terjadi di berbagai tempat di Indonesia dan muka bumi yang lain. Pimpinan daerah dan stafnya tidak dapat membatasi diri terhadap orang orang dari garis keturunan yang sama. Orang orang, datang dari kerabat dan yang mengaku kerabat dekat baik dari klen kecilnya, klen besarnya bahkan juga paruh masyarakatnya (moiety) memaksa pimpinan untuk memakai dana taktis pemda bagi mereka. Sulit bagi putra daerah dimanapun untuk mampu “menghadapi saudara-saudara-nya” sendiri, jika tak percaya diri. Selain aspek mental ada aspek genealogy yang mengikuti dan mengikat pimpinan kabupaten atau kecamatan yang putra daerah. Jika aspek kekerabatan ini tak diperhatikan maka suatu rencana “jaring pengaman sosial”, akan dilaksanakan dengan tidak adil karena hanya akan mengalir pada kelompok kekerabatan tertentu.
Meutia Hatta Swasono melihat karakter bangsa dimasa depan sebagai patokan yang harus dicapai. Meutia sendiri juga melihat kenyataan saat ini di Indonesia bahwa, ada sejumlah problem yang berhubungan dengan mentalitas. Problem ini menghambat pembangunan, yakni : (i) mentalitas yang meremehkan mutu; (ii) mentalitas suka menerabas; (iii) sifat tidak percaya kepada diri sendiri; (iv) sifat tidak berdisiplin murni; dan (v) sifat tidak bertanggung jawab. Dari lima kenyataan yang buruk ada pertanyaan, arah mana yang sebaiknya dicari untuk mencapai impian dan harapan tersebut?
Masa depan yang diharapkan memiliki sejumlah karakter manusia yang melintasi keanakeragaman sukubangsa di Indonesia. National character (karakter bangsa) adalah ciri dari beberapa kumpulan manusia dalam disebuah negara yang tampak pada interaksinya. Interaksi untuk berbagai kepentingan dan tugas. Disini karakter bangsa yang dianggap penting dan harus dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang tersirat dalam akhlak atau sifat sehari-hari, adalah: (1) sifat menghargai mutu/kualitas; (2) kesabaran untuk meniti usaha dari awal; (3) adanya rasa percaya diri karena yakin dirinya berkualitas; (4) sikap disiplin dalam waktu dan pekerjaan; (5) sifat mengutamakan tanggung jawab.
Tentu nilai-nilai Pancasila tetap melandasi akhlak bangsa Indonesia, hingga bangsa Indonesia tampak sebagai bangsa yang : (1) beribadah (apapun agama atau keper-cayaan yang dianut); (2) berperikemanusiaan; (3) mampu menjaga persatuan, tidak mengkotak-kotakkan diri dan mencintai tanah air; (4) mengutamakan musyawarah-mufakat dan; (5) mengutamakan keadilan terhadap sesama anak bangsa. Paduan landasan dan karakter itu mengawali rangkaian tindakan atau strategi menuju Indonesia yang baik.
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam buku Perspektif Budaya
Foto: Koleksi Mulyawan Karim
You might also like
[MAKALAH] Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN
[MAKALAH] Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN Pembicara Pembicara Kunci: Hilmar Farid, Ph.D., Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kemajemukan dan Keadilan. Unduh: KML 2017_Makalah_Hilmar Farid_Kemajemukan dan Keadilan
[Bukan Catatan Lapangan] Edward Mahasiswa Perahu
[Bukan Catatan Lapangan] Edward Mahasiswa Perahu oleh: Sipin Putra Fenomena lucu dan tidak biasa saya temui ketika melakukan penelitian lapangan di Manokwari. Ini merupakan kunjungan pertama saya ke Manokwari, Papua
Usulan Antropolog untuk Presiden Indonesia
USULAN STRATEGIS ANTROPOLOG UNTUK INDONESIA KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM MERAWAT INDONESIA YANG BINEKA DAN INKLUSIF PERMASALAHAN INTOLERANSI DALAM KEBINEKAAN INDONESIA Masalah intoleransi agama dan etnis yang dewasa ini merebak
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!