Pilihan Arah Peradaban setelah Pandemi: Perlunya Nilai-nilai tentang Kedaruratan dan Pertalian Sosial
Rumusan Koentjaraningrat Memorial Lectures XVII/2020[1]
Sebelum kita masuk mengalami pandemi, etnografi di akhir abad ini sudah mencatat masalah dalam peradaban kita. Rangkaian dampak kapitalisme yang mengorbankan manusia adalah krisis peradaban modern yang tengah berlangsung. Manusia semakin kehilangan relasi sosial, kebudayaan, bahkan menghadapi kematian karena alam tempatnya hidup pun hilang sebagai konsekuensi. Mereka yang terpinggirkan adalah kaum papa, kelas pekerja, perempuan, dan anak-anak. Komparasi etnografi dari berbagai tempat memperlihatkan gejala tersebut.
Kita sedang mengalami keadaan keadaan akhir zaman atau kondisi apokaliptik. Sebuah proses meruntuhnya peradaban yang sedang terjadi di berbagai tempat di seluruh penjuru bumi. Melumpuhkan tapi perlahan, mematikan secara acak, sporadis tapi sistemik. Sebagian menerimanya, sebagian menolaknya, sebagian besarnya mungkin tidak peduli. Kajian tentang climate change dengan permodelan komputer mewartakan berita buruk bahwa kesehatan bumi terus merosot untuk menyokong kehidupan manusia.
Runtuhnya kapitalisme (dan ideologi derivatif turunannya) sebagai sebuah sistem sosial ekonomi penggerak peradaban telah diramalkan. Filsafat sudah jauh hari melakukan kritik keras terhadapnya. Kritik itu bahkan kita pakai dalam alam perkuliahan akhir-akhir ini termasuk di antropologi dan sosiologi. Manusia modern bukan saja kehilangan rasa sensitifnya karena rutinitas, tapi juga gagal memahami sempurna apakah kedaruratan itu. Krisis selalu dianggap terjadi di luar diri, nun jauh di sana. Bad things happened far away, begitulah pepatah. Padahal riset-riset sosial menggunakan model risk society beberapa bahkan mengambil spesifik telaah soal bakteri, parasit, jamur, dan virus dalam arus sejarah selalu mengisyaratkan tanda bahaya kondisi kedaruratan. Risiko itu meningkat seiring dengan rusaknya jejaring ekosistem di berbagai tempat di dunia akibat ekstraksi berlebihan.
Sebetulnya runtuhnya peradaban karena penyakit bukan hal baru. Arkeologi dan kajian pasca kolonial banyak membahas bahwa indigenous poeple dapat musnah oleh penyakit kaum pendatang (colonizer). Artinya kiamat terjadi berulang kali dalam skala kecil. Namun baru pada masa Covid-19 keruntuhan peradaban itu terasa terjadi di halaman rumah kita sendiri. Termasuk menghajar kita sendiri sebagai komunitas ilmuwan. Memaksa kita untuk jujur mengakui kesalahan dalam peradaban kita. Ada kesalahan dalam membangun logika bahkan kesalahan dalam membangun imajinasi. Kita begitu gampang membayangkan kiamat akan datang, tapi akan jauh lebih sulit ketika membayangkan bahwa kapitalisme akan berakhir. Jauh lebih mudah membayangkan dunia akan berakhir karena tercekik sampah plastik daripada dunia berakhir karena sistem kapitalisme yang membunuh kita semua.
Pandemi ini kita yang mengundangnya ketika abai terhadap irama alam, mengubah lanskap alam sembarangan, membuka kotak Pandora bagi virus untuk berkeliaran jauh sampai lingkaran keluarga kita. Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk siuman. Bahwa satu-satunya nilai yang kita percaya dan junjung tinggi dalam peradaban modern hanyalah produktivitas ekonomi belaka. Begitu kita disuruh berhenti, disuruh kerja di rumah, kita baru tersadar ternyata tidak ada keterampilan lain yang kita miliki kecuali bekerja terintegrasi dalam sistem kapitalisme yang merupakan mesin peradaban kita. Hanya sedikit dari kita yang dapat merdeka melukis, merajut, main musik dan hidup berkebudayaan dan berkeindahan. Bahkan ketika dipaksa diam di rumah, pikirannya melayang ke kantor karena mekanisme hidup sudah dirancang untuk kehidupan kantor.
Seorang antropolog David Graeber sebelum meninggal bulan lalu menerbitkan buku berjudul Bullshit Jobs. Kita baru berasa bermakna ketika bekerja dalam birokrasi. Merasa menjadi penting dalam melakukan hal-hak yang tidak esensial menjadi mesin-mesin berdaging yang tokh kelak akan digantikan oleh artificial inteligence. Dalam masa pandemi ini kita merasa bertanggungjawab untuk kerja terus seakan-akan kita berdosa kalau tidak bekerja. Pada saat ini, kolaps nya sistem terlihat dari ledakan kematian karena paksaan bekerja. Terutama mereka yang berada di garis depan birokrasi kesehatan. Sistem seperti apa yang menganggap bahwa kematian karena bekerja adalah biasa semata-mata karena mereka disposable?
Jika pandemi Covid-19 adalah suatu fenomena kiamat kontemporer, atau proses menuju kiamat, maka seyogyanya secara politis dan sosial umat manusia mengambil langkah yang mendasar baik terhadap pandemi yang sedang terjadi maupun potensialitas bencana yang akan terjadi. Namun kita memerlukan keberanian untuk bertanya apakah kita perlu suatu konsensus untuk mengatakan kiamat datang? Apakah kita perlu politisi untuk menyampaikan? Kekacauan pandemi ini disebabkan oleh ketidakmampuan melacak dan mengakui asal-muasal pandemi berasal dari kapitalisme global dengan komodifikasi alam yang radikal. Juga tabrakan dan tumpang tindih kepentingan industri dan politik di dunia global mempercepat kiamat.
Eskatologi bukan kematian dan akhirat, tapi akhir kehidupan. Kita hanya perlu memihak kepada hidup dan isinya karena kehidupan sedang dalam proses berakhir. Pandemi adalah tempat kita menjadi malu dan belajar dari ulang tentang prestasi peradaban kita. Memahami kembali apa itu kedaruratan. Di masa depan pasca pandemi sains harus lebih demokratik dan sadar akan tugasnya membangun kemanusiaan—termasuk kepekaan terhadap kedaruratan. Ruang publik harus lebih terbuka, hierarki kapitalisme dan informasi harus disikapi hati-hati. Politik tidak lagi terlalu tersekat oleh persaingan prestasi nasional. Kerja-kerja internasional yang terbuka rupanya lebih penting di masa depan. Abai melakukannya, kita akan masuk lagi ke jurang yang sama. Nilai pertumbuhan atau growth hanya akan jadi barang usang jika tidak ada ukuran penyeimbang yaitu sebesar apa risikonya. Malahan mungkin sekarang saatnya degrowth.
Tapi harapan selalu ada. Saat ini masa memang depan gelap datang menabrak kita dari masa depan. Industri, perbankan, politik, militer, kesehatan modern kolaps. Tapi bidang-bidang pekerjaan skala kecil yang mengedepankan manusia bukan sekadar angka-angka justru tumbuh dan berkembang. Kita mulai belajar solidaritas tolong menolong dan gotong-royong sebagai inisiatif lokal di mana-mana dengan organiknya. Mereka mungkin tercerai-berai dan sporadis, tapi tumbuh terus di seluruh dunia dan membesar di era pandemik. Koentjaraningrat memang menjelaskan dalam tulisannya mengenai gotong royong. Rupanya studi-studi gerakan sosial dan pengorganisasian memperlihatkan nada serupa. Gotong Royong jika dibedah adalah naluri mendasar manusia dalam memuaskan hasrat tentang hubungan sosial. Inilah ekonomi dan fitrah hidup yang sesungguhnya. Sudah saatnya manusia membangun imajinasi baru tentang ekonomi yang mengedepankan manusia sebagai subjek.
Keadaan sangat mendesak. Kita membutuhkan nilai-nilai baru yang menghargai dimensi pertalian sosial, dan nalar kritis untuk mengkoreksi nilai-nilai tentang produktivitas biasa yang ternyata membunuh. Abai menerapkan itu, peradaban akan terus merosot dan kita akan terjerumus ke dalam kesalahan yang sama di masa depan.
Jakarta 30 September 2020
Forum Kajian Antropologi Indonesia
[1] Rumusan hasil diskusi yang dibuat dan dibacakan oleh moderator pada akhir acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XVII.
Biodata Moderator/Perumus
Iwan Meulia Pirous, MA.
Lulus Departemen Antropologi, Universitas of Indonesia (sarjana S1) tahun 1997. Melanjutkan ke Departemen English and Media Studies, Nottingham Trent University, Inggris (program Master) dalam bidang Globalisation, Identity dan Technology (lulus 2004). Mendalami dinamika ekspresi kultural dan gerakan sosial masyarakat dalam relasi-relasi sosial historis melibatkan kehadiran sistem ekonomi, teknologi, dan kebijakan politik negara. Saat ini sedang bekerja sebagai peneliti senior di Gaia-Consulting untuk perancangan program berhubungan dengan perhutanan sosial, perubahan iklim dan pembentukan pengetahuan kolektif yang menjembatani sains-teknologi, pengetahuan lokal dan bisnis mengenai konservasi hutan. Juga aktif sebagai peneliti di Forum Kajian Antropologi Indonesia dan mengurus Serambi Pirous Studio Galeri di Bandung.
You might also like
Dari Multikulturalisme Kolonial ke Kolonialisme Multikultural
Dari Multikulturalisme Kolonial ke Kolonialisme Multikultural Oleh Hilmar Farid Di Indonesia sendiri, politik kemajemukan budaya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era kolonial. Kolonialisme Belanda dibangun di atas dasar pertimbangan
DARURAT KEINDONESIAAN
Gerakan Antropolog Untuk Indonesia Yang Bineka dan Inklusif “Berbagai pertanda jelas memperlihatkan nilai-nilai keindonesiaan kita, termasuk semboyan kebangsaan “Bhinneka Tunggal Ika”, terus menerus digerus.” Pengamatan itulah yang memicu hampir 300
Koentjaraningrat Memorial Lectures XV/2018: INTEGRASI NASIONAL DAN ANCAMAN YANG DIHADAPI
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah sering menghadapi berbagai ancaman disintegrasi. Merespon kenyataan sejarah ini, Prof. Koentjaraningrat, guru besar pertama antropologi Indonesia, memandang penting hadirnya integrasi nasional dalam proses yang terus
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!