Kebudayaan Nasional Tentukan Integrasi Bangsa

Foto : https://jateng.tribunnews.com/2017/09/17/menyimak-metodologi-penelitian-prof-dr-heddy-shri-ahimsa-antropolog-ugm
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra (berdiri) menjelaskan pemikiran Koentjaraningrat terkait integrasi bangsa Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (19/10/2018).

JAKARTA, KOMPAS— Penetapan kebudayaan nasional suatu bangsa merupakan jalan untuk menghilangkan disintegrasi yang terjadi di dalam masyarakat. Penetapan ini merupakan sebuah program dan sistem yang sengaja dibuat untuk menghalangi terbentuknya politik identitas yang berisiko memecah-belah persatuan.

Hal tersebut merupakan inti dari Koentjaraningrat Memorial Lecture XV di Bentara Budaya Jakarta pada hari Jumat (19/10/2018). Kuliah yang bertema “Integrasi Nasional dan Ancaman yang Dihadapi”. Kuliah itu bertujuan untuk membedah dan mendiskusikan pemikiran Bapak Antropologi Indonesia Koentjaraningrat. Hadir sebagai narasumber yang mengkonstruksikan pokok pikiran Koentjaraningrat adalah Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra.

Ia menjelaskan, menurut Koentjaraningrat, masalah integrasi di Indonesia terjadi karena empat hal, yaitu mempersatukan aneka warna suku bangsa Nusantara, menjembatani hubungan antarpemeluk agama dan kepercayaan, hubungan antara kelompok mayoritas dengan minoritas, serta integrasi kebudayaan di Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) dan Timor Timur dengan kebudayaan Indonesia.

“Keempat faktor ini menghasilkan berbagai prasangka dan stereotipe negatif di masyarakat terhadap kelompok yang berbeda dari kelompok lain,” ujar Heddy. Prasangka ini mengakibatkan adanya persaingan yang tidak sehat dalam pencarian lapangan kerja, ekonomi, serta sistem sosial dan politik.

Koentjaraningrat menjabarkan bahwa solusinya ialah dengan mengajak masyarakat untuk hidup bersama. Menghadirkan ruang-ruang pertemuan tempat orang-orang dari kelompok berbeda bisa berdiskusi dan bisa saling mengenal adat istiadat serta agama dan kepercayaan yang beragam. Selain itu, diperlukan juga sikap pemimpin negara, politisi, kaum intelektual dan pers yang mengadvokasi persatuan dan toleransi.

Budaya bersama

Heddy menjelaskan, ruang-ruang pertemuan harus dibuka melalui kebijakan yang bersifat nasional. Ia memberi tiga contoh, pertama adalah penggunaan busana tradisional dalam acara-acara kenegaraan dan acara formal lainnya. Kedua, menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap kali ada kegiatan publik. Ketiga, penggunaan bahasa daerah sebagai salah satu bahasa informasi di bandara-bandara.

“Contoh-contoh itu mengangkat budaya lokal ke tataran nasional. Hal ini membuat masyarakat Indonesia terpapar, terbiasa melihat, dan akhirnya turut merasa memiliki budaya tersebut. Misalnya, busana adat suatu daerah kini tidak lagi eksklusif dimiliki oleh suku bangsa tertentu. Seluruh masyarakat Indonesia merasa memiliki dan turut melestarikannya,” paparnya.

Ia mengutip penelitian Ben Anderson yang berjudul Imagined Community yang menjelaskan bahwa komunitas-komunitas masyarakat kini tidak lagi terikat kepada letak geografis, suku bangsa, agama, dan bahasa. Media sosial berjasa menyatukan masyarakat berdasarkan hobi dan ketertarikan yang serupa meskipun peminatnya berasal dari latar belakang berbeda-beda.

Pembodohan

Meskipun begitu, Heddy menekankan bahwa masyarakat harus berhati-hati terhadap pembodohan yang ada di sekitar. Bentuknya ialah politik identitas yang bersifat egois, ingin memenangkan kelompok tertentu, dan menghasut masyarakat. Cara yang paling sering dilakukan ialah dengan meyakinkan masyarakat bahwa perbedaan merupakan hal menakutkan.
“Pembodohan menggunakan narasi berupa berita bohong, monolog, indoktrinasi, korupsi, dan komentar-komentar dangkal,” tuturnya.
Oleh karena itu, ajang pileg, pilpres, dan pilkada sebenarnya merupakan kesempatan baik untuk melihat kembali semangat persatuan dan mengeratkannya. Akan tetapi, hal itu bisa dilakukan apabila masyarakat bisa melampaui upaya pembodohan yang ada di sekitar.

Berseri

Ketua Panitia Koentjaraningrat Memorial Lecture Mulyawan Karim mengatakan acara ini merupakan kegiatan berseri yang dilakukan setiap tahun. Selain di Jakarta, ceramah oleh Heddy juga akan diadakan di Bentara Budaya Yogyakarta pada akhir bulan oktober. (DNE)

Tulisan ini diambil FKAI dari kompas.id (https://kompas.id/baca/utama/2018/10/20/kebudayaan-nasional-tentukan-integrasi-bangsa/) diakses pada 24 Oktober 2018

Previous Kuliah Publik Antropologi - Integrasi Nasional dan Ancaman yang Dihadapi
Next Nilai Integrasi Nasional Indonesia 8

You might also like

KML

Pendaftaran Koentjaraningrat Memorial Lectures XVII/2020

Mohon melakukan pendaftaran di: http://bit.ly/daftarKML Setelah melakukan pendaftaran, informasi link Zoom Webinar akan kami sampaikan pada 29-30 September 2020 melalui e-mail, sebelum kegiatan dimulai. Sampai saat itu, kami akan sampaikan

Agenda

KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURE XIX/2022

Membaca Peran Aktivisme Koentjaraningrat dalam Antropologi Indonesia Sejarah perkembangan Antropologi memang tumbuh bersamaan dengan geliat kolonialisme. Tapi kita kerap lupa bahwa antropologi termasuk paling awal melahirkan dan menularkan pendekatan dan

KML2017

[PERUMUSAN] Koenjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN

PERUMUSAN KML 2017_Perumusan “Kebhinekatunggalikaan”, dan “Keindonesiaan kita” tidak berada dalam ruang hampa.  Dalam seri KML kali ini kita ingin melihat lebih dalam lagi apakah pluralisme kultural atau spirit yang menganggap 

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply