Globalisasi dan Ledakan Pluralitas

Globalisasi dan Ledakan Pluralitas

Oleh: Yudi Latif

Dengan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Memasuki awal milenium baru terjadi berbagai perubahan yang cepat, dinamis, dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan antarbangsa dan masyarakat.

”Globalisasi”, tulis Anthony Giddens (1990), ”adalah intersifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di seberang jauh dan begitupun sebaliknya.”

Globalisasi merestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Berhembus dari Barat, dengan muatan pengaruh politik dan ekonomi Amerika Serikat yang kuat, globalisasi pada akhirnya menerpa semua bagian dunia, tak terkecuali Amerika Serikat sendiri, meskipun dengan konsekuensi yang tak merata.

Pada ranah negara-bangsa (nation-state) di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya. Bahkan negara adikuasa seperti Uni Soviet menjadi korban globaliasi yang didorong temuan-temuan teknologinya sendiri. Meski dalam kadar dan implikasi yang tak sama, krisis perekonomian sebagai konsekuenasi globalisasi juga melanda Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya pada awal milinium baru.

Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran glombang demokratisasi ketiga di dunia, yang menurut Hungtington bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan reformasi pada akhir 1990-an. Gelombang demokratisasi ini melanda Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan yang serius dari penetrasi kekuatan- kekutan global, yang setelah perang dingin berakhir, terutama datang dari kekuatan “fundamentalisme pasar” dan “fundamentalisme agama”.

Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kedaerahan. Dalam planet bumi yang dirasa kian ”mengecil”, jumlah negara bangsa justru kian bertambah. Antara 1960 dan 2006, anggota PBB bertambah hampir dua kali lipat dari 99 menjadi 192, dengan pertambahan cepat terjadi menyusul kehancuran Blok-Timur (antara 1992-2006 terjadi penambahan sekitar 13 anggota baru). Seiring dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari 60 (asosiasi) kebangsaan diterima sebagai anggota baru Federation of International Football Association (FIFA). Bagi Indonesia sendiri, tekanan globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan “revivalisme etno-religius”.

Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide-ide, orang, teknologi dan barang memberi peluang-peluang baru dalam perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Perdagangan dunia saat ini jauh lebih luas cakupannya dan instan kecepatannya di banding periode mana pun dalam sejarah umat manusia. Yang paling menonjol adalah lonjakan dalam tingkat arus finansial dan kapital yang difasilitasi oleh perekonomian elektronik (economy electronic). Intensifikasi penguasaan ruang dan waktu lewat arus globalisasi berpengaruh besar bagi perilaku dunia usaha. Pergeseran modus produksi Fordisme (yang kaku dan kurang mobil) ke sistem akumulasi fleksibel (yang beroperasi dengan kelenturan dan layanan just-in-time) merupakan eksemplar bagaimana pengolalaan atas ruang dan waktu semakin signifikan dalam kapitalisme lanjut di era globalisasi ini.

Di sini lain, dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” (winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007: 3). Selain itu, kecenderungan negara-negara terbelakang untuk terjerat utang luar negeri, korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan ”global village” (dusun dunia), tetapi juga ”global pillage” (perampasan dunia).

Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi, yang akan mempengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem- sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4).

Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung kemungkinan gejala ”penunggang bebasnya” (free-riders) tersendiri. Bahwa suatu organisme bisa melakukan tindakan di luar tujuan aslinya, bahkan melakukan sesuatu yang berkebalikan dari niat awalnya. Dalam konteks kelembagaan antarbangsa, ada beberapa institusi yang semula didirikan dengan tujuan menolong, justru digunakan untuk tujuan sebaliknya. Hal inilah yang terjadi dengan IMF dan World Bank. Ketika didirikan, premis kebijakannya diletakkan pada pengandaian-pengandaian John Maynard Keynes. Tetapi kemudian IMF menjadi pintu bagi terjadinya globalisasi korporasi dan juga kegiatan spekulasi tingkat dunia, tanpa memperhatikan dampak tingkah lakunya.

Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun ’80-an, yang kemudian mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan persentasi yang luar biasa besar. Pada saat yang sama, IMF dan World Bank tidak dapat dijangkau dengan alat kedaulatan hukum apapun, bahkan hukum internasional.
Dengan kata lain, liberalisasi perdagangan diikuti oleh kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintahan nasional untuk menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan-kekuatan komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan lembaga-lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll). Kecenderungan globalisasasi seperti itu membawa tantangan yang serius pada usaha-usaha pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Globalisasi memang meningkatkan kesadaran akan HAM di Dunia Ketiga, namun sekaligus juga memasok hambatan baru yang membuat idealisasi HAM itu sulit diimplementasikan dalam praksis pembangunan.

Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun ’80-an dari hegemoni ideologi neo- liberalisme yang menyerang pondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar meningkatkan ketaksetaraan di dalam negara, dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.

Tantangan-tantangan globalisasi pasca Perang Dingin memerlukan komitmen dan visi internasionalisme baru yang relevan dengan perkembangaan zaman. Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan praktik demokratis dalam skala transnasional untuk merespon realitas global yang saling tergantung. Problem dalam tata dunia hari ini, menurut penilaian William Connoly (1991), adalah terjadinya kesenjangan antara perkembangan waktu (temporality) dan ruang (spatiality); yakni ketidakcocokan antara realitas sosial-politik era globalisasi dengan struktur kenegaraan, antara perkembangan ekonomi yang kian merobohkan batas-batas teritorial dengan perkembangan demokrasi politik yang masih tekungkung dalam batas teritorial negara- bangsa.

Hal senada dikemukakan oleh Eric Hobsbawm, yang menilai bahwa ‘demokrasi elektoral tak dapat berfungsi secara efektif di luar unit-unit politik seperti negara-bangsa’ (Hobsbawm, 2007: 118). Negara kuat atau aktor non-negara yang punya global intent sering mengabaikan prosedur demokrasi dalam merealisasikan ambisinya. Di lain pihak, kelompok-kelompok yang marginal dalam demokrasi politik negara-bangsa, berusaha melepaskan keterkaitannya dengan demokrasi dan negara-bangsa dengan melakukan “retradisionalisasi politik”, seperti mengidealkan “kekhalifahan”.

Jika demokrasi elektoral bukanlah sarana yang efektif untuk memecahkan masalah-masalah global atau  transnasional, Hobsbawm memberi isyarat tentang altenatif nonelektoral.  Ia mengajukan contoh keberadaan badan transnasional seperti Uni Eropa, yang mampu berkembang menjadi struktur yang kuat dan efektif justru ketika tidak melibatkan popular electorate, melainkan melalui prosedur-prosedur permusyawaratan yang melibatkan sejumlah kecil perwakilan pemerintah anggota (Hobsbawm, 2007: 118). Dengan demikian, proses-proses demokrasi permusyawaran dalam semangat kegotong-royongan merupakan alternatif bagi pengembangan politik demokratisasi non-teritorial dari isu-isu global.

Singkat kata, intensifikasi globalisasi modern menuntut setiap bangsa untuk lebih memiliki wawasan internasionalisme dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan, perdamaian dan keadilan dalam pergaulan antarbangsa. Hal ini menuntut perubahan paradigmatik dalam hubungan internasional dari prinsip ‘zero-sum-game’ menuju prinsip “win-win-solution”. Hal itu bisa ditempuh, antara lain, dengan cara memperluas praktik demokrasi melampaui batas-batas teritorial negara-bangsa, melalui penguatan daya-daya permusyawaratan, restrukturisasi dalam lembaga-lembaga multilateral, serta partisipasi warga bangsa dalam persoalan kemanusiaan universal.

Akhirnya ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa. Di sini lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat, seperti ditujukan oleh China. Akan tetapi perlu dicatat, pengertian kuat di sini tidaklah sebangun dengan otoritarianisme, melainkan merujuk pada kapasitas negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum (law enforcement).

Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Pada titik ini, antisipasi sila kedua Pancasila seperti dikemukakan oleh Soekarno sudah tepat. “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”

Foto: http://www.occupy.com/article/globalization-and-its-new-discontents

Previous Kemajemukan dan Politik Kebudayaan Nasional
Next Napak Tilas Kejayaan Batavia

You might also like

KML

Press Release: Koentjaraningrat Memorial Lecture XXI/2024 – 3 Juni 2024, Auditorium Mochtar Riyadi, FISIP UI-Depok

“Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan” (Sulistyowati Irianto)   Saat ini Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya dimulai ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkah melalui revisi Undang-Undang,

Kekinian

SATU INDONESIA: Suku Bangsa dan Multikulturalisme

SATU INDONESIA: Suku Bangsa dan Multikulturalisme Oleh : Alm. Prof. Dr. Parsudi Suparlan (Guru Besar Antropologi UI) Suku bangsa sebagai golongan sosial yang askritif dan sebagai masyarakat pemilik kebudayaan suku

Agenda

Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015: NARKOBA, SEKSUALITAS DAN POLITIK

KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURES XII/2015 Narkoba, Seksualitas dan Politik Kamis, 15 Oktober 2015, 09.00 – 15.00 Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia Latar Belakang Februari 2015 lalu, situs berita Kompas.com mengutip

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply