Kemajemukan Indonesia

Ideologi Inklusif Kemajemukan Indonesia
Oleh: Yudi Latif

Mestinya kita tidak perlu gundah dengan pluralitas kebangsaan Indonesia. Toh, meminjam ungkapan Albert Einstein, Tuhan tidak sedang “bermain dadu” dalam desain penciptaan negeri ini sebagai negeri multikultural. Keragaman tidak selalu berakhir dengan pertikaian asal tersedia sistem pengelolaan yang tepat. Kita juga tidak perlu terobsesi dengan homogenisasi kebangsaan, karena keseragaman bukanlah jaminan kedamaian dan kesejahteraan.

Pada kenyataannya, realitas sejagad kontemporer menunjukkan hanya sedikit negara yang terdiri dari satu kelompok etno-kultural. Pada umumnya, negara modern merupakan negara dengan aneka suku-bangsa (polietnik). Bahkan, suatu negara dengan ragam kebangsaan pun hadir di pelbagai belahan dunia. Sehingga yang terakhir ini lebih tepat dikatakan sebagai “nations-state” ketimbang “nation-state”.

Sebutlah contohnya United Kingdom of Great Britain and Ireland, Perancis dan Canada. Jika orang-orang dari Britania raya ditanya: ‘what is your nationality?, maka jawabannya, bisajadi English, Wales, Scotish atau bahkan Irish. Namun jika ditanya: “what is your citizenship?”, maka jawabannya adalah British. Begitu pun Perancis. Negara ini memungkinkan penduduk dari wilayah bekas jajahannya memperoleh kewarganegaraan Perancis. Akibatnya, Negara ini dihuni oleh warga-negara dengan imajinasi kebangsaan yang beragam. Canada memberi contoh yang tak kalah menariknya. Negara ini tidak hanya bersifat polietnik (polyethnic state) yang mencerminkan keragaman etno-kultural dengan penerimaan yang luas terhadap individu dan keluarga imigran dari berbagai latar budaya. Tetapi juga merupakan negara yang bersifat multinasion (multination state), dalam bentuk federasi dari tiga kelompok bangsa yang berbeda (Inggris, Perancis, dan Aborigin/Indian). Ketiga kelompok ini bisa dikatakan bangsa dalam arti sosiologis karena masing-masing merupakan komunitas historis, menghuni teritori dan pemukiman tertentu, memiliki institusi yang lengkap serta bahasa dan sejarahnya sendiri-sendiri (Kymlicka 1996, 2000).

Previous Keadilan dan Akar Ekonomi-Politik Kemajemukan
Next Pameran Pengaruh Kebudayaan Peranakan Pada Corak Hias Batik Pesisiran

You might also like

KML

Globalisasi dan Ledakan Pluralitas

Globalisasi dan Ledakan Pluralitas Oleh: Yudi Latif Dengan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam, melainkan

Kekinian

SATU INDONESIA: Politik Kesukubangsaan Dalam Multikulturalisme

SATU INDONESIA: Politik Kesukubangsaan dalam Multikulturalisme Oleh : Alm. Prof. Dr. Parsudi Suparlan (Guru Besar Antropologi UI) Bila kesukubangsaan tidak seharusnya dimunculkan dalam arena nasional dan umum, bagaimana dengan kemunculannya

Kekinian

SATU INDONESIA: Meneguhkan masyarakat multikultur

Tahun 2017 ini FKAI berencana untuk mempublikasikan tulisan dan wacana tentang kemajemukan. Untuk mengawali tahun ini, kami akan mengangkat kembali berbagai tulisan dan gagasan dari Prof. Parsudi Suparlan. Beliau telah