Keadilan dan Akar Ekonomi-Politik Kemajemukan
Keadilan dan Akar Ekonomi-Politik Kemajemukan
oleh: Hilmar Farid
Dalam situasi kekinian, akar ekonomi-politik juga dapat kita temukan dalam gejala sektarianisme dan fanatisisme golongan. Ada beberapa kasus yang dapat dikomentari di sini:
- Sektarianisme dan fanatisisme religius di kalangan kaum miskin perkotaan. Kesenjangan ekonomi yang begitu tajam memicu tumbuhnya harapan akan keadilan Ilahi. Itulah yang menyebabkan mengapa kaum miskin kota dengan cepat mengalami radikalisasi oleh isu agama.
- Sektarianisme primordial dan puritanisme religius di kalangan kelas menengah atas perkotaan. Persaingan kerja dan alienasi sosial akibat kapitalisme high tech memicu tumbuhnya kebutuhan atas identitas primordial dan cara beragama yang zakelijk. Inilah yang menyebabkan mengapa kelas sosial yang mapan justru menjadi pelaku utama sektarianisme dan puritanisme.
- Sentimen rasis dan merebaknya kontroversi tentang isu “invasi pekerja Cina” yang begitu cepat diyakini orang-orang. Sumber sesunggguhnya terletak ketidakpastian kerja yang merupakan konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diakibatkan oleh
kebijakan neoliberal global.
Masalah yang memicu tumbuhnya kebutuhan bagi politik multikulturalis, karenanya, adalah masalah ekonomi-politik. Baik politik identitas maupun solusi multikulturalisnya sama-sama dimungkinkan oleh suatu tata ekonomi-politik yang mengesampingkan keadilan sosial.
Dalam karyanya, Justice Interruptus: Critical Reflections on the ‘Postsocialist’ Condition (1997), Nancy Fraser membedakan “politik pengakuan” (politics of recognition) dan “politik redistribusi” (politics of redistribution).
- Politik pengakuan berurusan dengan masalah identitas, gender dan multikulturalisme.
Tujuannya adalah untuk menghadirkan pengakuan sosial-politik berbasis identitas kultural
yag mengarah pada harmoni kultural. - Politik redistribusi berurusan dengan masalah eksploitasi kerja, ketimpangan akses pada sumber daya dan pertentangan kelas. Tujuannya adalah untuk mengatur kembali hubungan ekonomi yang mengarah pada kesejahteraan sosial.
Masalah kita adalah bahwa kedua macam politik itu kerapkali ditangani secara terpisah. Seakan- akan budaya dan ekonomi-politik adalah dua ranah yang berdiri sendiri-sendiri. Pembicaraan tentang kemajemukan, karenanya, cenderung dipisahkan dari pembicaraan tentang keadilan.
Politik rekognisi hanya bisa berjalan kalau itu dilangsungkan bebarengan dengan politik redistribusi. Kemajemukan yang sehat hanya dapat diwujudkan apabila sumber masalah ketidakadilan ekonomi dibereskan terlebih dulu. Hal yang sebaliknya pun terjadi. Penyelesaian atas ketidakadilan ekonomi kerapkali mensyaratkan strategi kebudayaan yang dapat menginisiasi perubahan sosial.
You might also like
Koentjaraningrat Memorial Lecture XVI/2019 : PERUBAHAN IKLIM DAN ANTISIPASI PERILAKU BUDAYA UNTUK MASA DEPAN
Dalam kuliah umum ini, dua pembicara akan menyampaikan pandangan masing-masing tentang krisis iklim yang tengah terjadi. Para pembicara diharapkan menyampaikan paparan yang bersifat dialogis, yang memperlihatkan paradoks, kontras, ironi, hambatan,
Usulan Antropolog untuk Presiden Indonesia
USULAN STRATEGIS ANTROPOLOG UNTUK INDONESIA KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM MERAWAT INDONESIA YANG BINEKA DAN INKLUSIF PERMASALAHAN INTOLERANSI DALAM KEBINEKAAN INDONESIA Masalah intoleransi agama dan etnis yang dewasa ini merebak
SATU INDONESIA: Meneguhkan masyarakat multikultur
Tahun 2017 ini FKAI berencana untuk mempublikasikan tulisan dan wacana tentang kemajemukan. Untuk mengawali tahun ini, kami akan mengangkat kembali berbagai tulisan dan gagasan dari Prof. Parsudi Suparlan. Beliau telah
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!