KEKAYAAN DAN KEJAYAAN TRADISI PERAHU NUSANTARA
Keberagaman kebudayaan Indonesia tercermin juga pada keberagaman alat transportasi tradisionalnya, termasuk alat transportasi air yang secara umum disebut perahu. Antropolog Hildred Geertz dalam bukunya Indonesian Cultures and Communities (1963) menyebut bahwa di Indonesia hidup kira-kira 300 sukubangsa yang menjadi penutur sekitar 250 bahasa. Banyak di antara sukubangsa-sukubangsa ini hidup dekat dengan kawasan perairan: daerah pesisisir, pulau-pulau kecil, sepanjang tepian sungai, sekitar danau-danau, hingga mereka yang secara harafiah memang hidup di tengah laut, seperti sukubangsa Bajau atau orang Laut.
Melihat kenyataan di atas, tak mengherankan jika bangsa Indonesia mengenal sangat banyak jenis perahu tradisional sebagai alat transportasi manusia maupun barang. Masyarakat Melayu di Sumatera mengnal sampan dan lancang kuning. Masyarakat-masyarakat di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Banten, Indramayu, Cirebon, Pekalongan hingga Tuban di Jawa Timur mengenal perahu jukung. Bersama lebih dari 20 jenis perahu lain, jukung juga dikenal oleh masyarakat Madura. Di Indonesia bagain timur ada pula kora-kora, perahu dayung khas Maluku; serta peledang, perahu masyarakat nelayan pemburu paus di Nusa Tenggara Timur.
Sulawesi merupakan salah satu wilayah Indonesia di mana dikenal paling banyak jenis perahu tradisional. Perahu-perahu dari berbagai sukubangsa yang ada di sana antara lain adalah patorani, soppe, jarangka, padewa, lambok, dan pajala. Salah satu perahu yang sangat istimewa adalah sande atau sandeq. Perahu layar khas suku Mandar di Sulawesi Barat ini dapat meluncur di laut dengan kecepatan tinggi, sampai 20 knot atau sekitar 40 kilometer per jam, hingga ada yang menyebutnya sebagai perahu tradisional tercepat di dunia.
Berbagai perahu tradisional Indonesia ini memiliki ukuran yang berbeda beda mulai dari yan kecil, yang biasa disebut sampan, hingga yang sangat besar, seperti phinisi, perahu suku Konjo di daerahh Bira, Ara, Lemo-Lemo, dan Tana Beru, Sulawesai Selatan, yang mampu mengangkut barang hingga 5.000 ton. Perahu-perahu ini dibangun dengan teknik dan dari bahan dasar kayu yang berbeda-beda, serta memiliki ukuran dan bentuk yang juga tak sama, disesuaikan dengan fungsi dan tujuan pembuatannya. Semua jenis perahu ini ini merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
***
Indonesia tidak hanya kaya akan beragaman warisan tradisi teknologi pembuatan perahu. Di masa lalu, bangsa penduduk kepulauan Nusantara juga pernah menjadi bangsa bahari yang berjaya. Mungkin banyak di antara kita yang belum tahu bahwa orang Jawa pernah membuat kapal terbesar dalam sejarah dunia. Kapal tersebut disebut jung, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti perahu. Jung Jawa ada sejak abad ke-8, pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Sebagaimana ditulis filolog Jawa Irwan Djoko Nugroho dalam bukunya Majapahit Peradaban Maritim (2011), jung Jawa adalah kapal besar yang pada zamannya biasa digunakan untuk mengangkut aneka komoditas perdagangan sampai seberat 2.000 ton. Mengutip saudagar, penjelajah, dan penulis Italia abad ke-15 Niccolo da Conti, jung Jawa ini besarnya empat sampai lima kali Flor de La Mar kapal Portugis terbesar pada masa itu.
Berdasarkan catatan Duarte Barbosa, pejabat pemerintah India Portugis abad ke-15, jung Jawa digunakan untuk melakukan perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra, kamper, hingga kayu gaharu. Pada masa itu, penjelajahan bangsa-bangsa Nusantara mencapai masa keemasannya. Sebab, hampir semua komoditas rempah-rempah dari Asia bisa ditemukan di Jawa.
Jung Jawa dibangun tanpa menggunakan paku atau besi. Untuk merekatkan bagian-bagiannya, hanya dipakai pasak dari kayu. Jung Jawa adalah kapal dengan empat tiang layar dan dinding yang tebuat dari empat lapis kayu jati. Jung Jawa berlyar menggunmakan dua hin gga empat layar besar, lengkap dengan sebuah busur besar sebagai kemudi angin. Kapal raksasa tersebut tercatat dalam laporan Gaspar Correia, sejarawan Portugis yang hidup antara abad 15 dan 16. Gaspar menceritakan bahwa kapal Jawa itu tak mempan ditembak meriam besar. Saat terkena tembakan, hanya dua lapis papan dindingnya saja yang rusak. Pada abad ke-14, jung Jawa sudah dikenal para pelaut dunia. Kecuali berfungsi sebagai kapal dagang, ia juga digunakan secara besar-besaran oleh Kerajaan Majapahit sebagai kapal angkut militer. Disebutkan, Kerajaan Majapahit memiliki 400 kapal perang yang dibagi dalam lima armada. Sebagian kapal berukuran panjang sampai 50 depa (sekitar 100 meter) dan dapat mengangkut hingga 400 prajurit. Sebagain lagi berukuran lebih kecil, panjang 33 depa dan dapat menganggkut 121 tentara.
Kapal Jawa yang digambarkan Correia amat boloeh jadi adalah jenis kapal yang sama dengan yang tergambar dalam beberapa relief yang ada di Candi Borobudur. Sebagaimana diungkap para arkeolog, relief-relief yang tertatah di dinding-dinding candi Buddha itu menggambarkan kehidupan sehari-hari pada abad ke-8 di Jawa. Pada 1982 Philip Beale, seorang pelaut, pengusaha, dan petualang Inggris, mengunjungi Borobudur dan terinispirasi membuat replika kapal jung Jawa sebagaimana yang tergambar dalam relief-relief candi tersebut. Setelah kapal kayu itu selesai dibangun pada 2003 ia melayarkannya dari Jakarta ke arah barat, mengarungi Samudera Hindia untuk mencapai benua Afrika. Pelayaran yang berakhir di Accra, Ghana, pada 23 Februari 2004 itu membuktikan adanya hubungan perdagangan bahari purba antara penduduk Kepulauan Nusantara (Indonesia) dengan penduduk berbagai negeri di Afrika Timur dan Madagaskar.
WAKTU
Rabu, 1 September 2021, Pkl 13.00 – 16.00 WIB
Pendaftaran: https://bit.ly/daftarWebinarPerahu
Info: 0812948457
PEMBICARA
- Ali Akbar, S.S., M.Hum. Ahli arkeologi maritim Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI)
- Horst Liebner, Ph.D. Pakar kelautan Jerman, antropolog yang meneliti tradisi pembuatan dn fungsi perahu di berbagi daerah di Indonesia. Pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar.
- Dwi Putro Sulaksono, S.Sos., MA. Peneliti Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
- Christine Olidita Indahrami Sanggenafa, S.Sos, M.Si. Antropolog Universitas Cendawasih (Uncen), Jayapura.
Moderator: Mulyawan Karim (Forum Kajian Antropologi Indonesia)
Setiap pembicara diberi waktu 15-20 menit untuk menyampaikan materi. Sesi pertanyaan akan dipandu oleh moderator. Pertanyaan dari setiap peserta dapat ditanyakan langsung atau melalui kolom komentar selama acara berlangsung.
SUSUNAN KEGIATAN
Waktu | Sesi | PIC/Narasumber |
12.45 – 13.00 | Registrasi peserta dan Penayangan video:
Sekilas Pandang Museum Bahari |
Panitia |
13.00 – 13.15 | Pembukaan
Menyanyikan Indonesia Raya dan doa bersama |
Pembawa Acara |
13.15 – 13.20 | Sambutan Kepala UP Museum Kebaharian Jakarta | Bapak Berkah Shadaya
Kepala UP Museum Kebaharian Jakarta |
13.20 – 13.30 | Pembukaan | Moderator: Mulyawan Karim |
13.30 – 13.50 | Materi 1
Bukti-Bukti Arkeologis tentang Tradisi Perahu dan Keunggulan Budaya Maritim Nusantara |
Dr. Ali Akbar, S.S., M. Hum
Universitas Indonesia |
13.50 – 14.10 | Materi 2
Pinisi, Tradisi Pembuatan Perahu Sulawesi Warisan Dunia? |
Horst Liebner, Ph. D |
14.10 – 14. 30 | Materi 3
Jukung Banjar-Borneo dan Persebaran Budaya Austronesia di Kalimantan Selatan |
Drs. Dwi Putro Sulaksono
Museum Lambung Mangkurat |
14.30 – 14.50 | Materi 4
Perahu Tradisional Masyarakat Papua: Jenis dan Fungsinya |
Christina Sangganefa S.Sos., M. Si
Universitas Cenderawasih |
14.50 – 15.10 | Sesi Tanya Jawab | Mulyawan Karim |
15.10 – 15.30 | Sesi Tanya Jawab | Mulyawan Karim |
15.30 – 15.35 | Penutup | Mulyawan Karim |
15.35 – 15.45 | Pengumuman Pemenang Doorprize | Pembawa Acara |
15.45 – 15.55 | Sesi Foto Bersama | Pembawa Acara |
You might also like
PROGRAM BOOK: Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017
DOWNLOAD PROGRAM BOOK Sejak akhir tahun 2016 lalu dinamika sosial di Tanah Air berkembang ke arah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Muncul ke permukaan sebuah gerakan sosial-politik yang, akibat pembiaran,
Nilai Integrasi Nasional Indonesia 8
Oleh ADHI KUSUMAPUTRA 19 Oktober 2018 · 17:50 WIB KOMPAS/HERU SRI KUMORO Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Heddy Shri Ahimsa-Putra menyampaikan kuliah publik antropologi Koentjaraningrat Memorial Lecture XV/2018
Buku Program dan Makalah Koentjaraningrat Memorial Lectures XVII/2020
Koentjaraningrat Memorial Lectures XVII/2020: Menerawang Peradaban dan Kemanusiaan Pasca Pandemi Covid19 telah dilaksanakan pada Rabu, 30 September 2020, 14:00 – 16:30 WIB. Terima kasih kepada para peserta atas kehadiran dan
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!