Membangun Kehidupan dari Reruntuhan: Nilai, Ekonomi-Ekonomi Kemanusiaan dan Pertalian Sosial di Tengah Pandemi
Imam Ardhianto, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Ada yang salah dengan cara kita membicarakan pandemi. Semenjak bermulanya pandemi Covid-19, pemerintahan di seluruh dunia memperdebatkan apakah sebaiknya pemerintah dan masyarakat membuka aktivitas ekonomi sehari-hari dengan resiko pertumbuhan eksponensial dari dampak kematian wabah atau menutup kegiatan ekonomi dengan konsekuensi bangkrutnya pondasi ekonomi makro dan terjerembabnya masyarakat dalam jurang resesi. Kedua kubu bermasalah karena pada prinsipnya masih memegang teguh keyakinan bahwa ukuran pertumbuhan ekonomi dan produktivitas lah yang utama. Padahal, kita tahu bahwa kontribusi kapitalisme terhadap bencana lingkungan tidaklah sedikit, dan melalui bencana lingkunganlah mutasi virus dan penyebarannya dapat terjadi. Ekpansi Kolonialisme, perkebunan skala luas, esktrasi sumber daya, industrialisasi dan ekspropriasi tenaga manusia semenjak abad 17 menunjukkan bagaimana pertumbuhan dan produktivitas yang menjadi mantra market capitalism berdampak pada depopulasi dan kekerasan yang terjadi pada sebagian besar kelompok-kelompok indigenous dan terpinggirkan, serta hancurnya lanskap alam dan biodiversitasnya di seluruh permukaan bumi. Meskipun demikian, kenapa kita terus berpikir bahwa produktivitas dan pertumbuhan lah satu-satunya nilai mendasar dari arah perkembangan masyarakat yang tidak bisa diganggu gugat?
Kuliah dari Imam Ardhianto hendak menawarkan arah lain dari perdebatan itu dan menawarkan asumsi dasar lain yang berangkat justru dari pelajaran yang bisa diperoleh dari berbagai komunitas terdampak pandemic dan bencana dalam menghadapi krisis-krisis tersebut di berbagai lintasan sejarah dan tempat. Secara lebih khusus, kuliah ini membahas bagaimana alternatif atas nilai kemanusiaan bisa kita lihat pada inisiatif-inisiatif warga berbasis mutual aid dan self-reliance mode of economy yang mungkin riwayat kemunculannya sebagai moda ekonomi sudah setua usia umat manusia itu sendiri. Dengan demikian, kuliah ini menawarkan pentingnya melihat ekonomi sebagai mode-mode pengaturan sumber daya dalam rangka mewujudkan pertalian sosial. Dengan prinsip tersebut, kajian-kajian yang dianggap ‘ketinggalan zaman’ memiliki dimensi vitalitasnya Kembali, antara lain: Kekerabatan, Pertemanan, Etnisitas, Kelompok Keagamaan, Serikat Pekerja, dan kombinasi dari semuanya.
Berangkat dari dasar-dasar, yang mungkin telah lama di dikaji pula oleh Koentjaraningrat, sebagai gotong royong (mutual aid) dan care work, pendekatan di atas bisa menjadi tawaran alternatif dalam mengantisipasi problem-problem kemanusiaan yang tumbuh sedemikian pesat sejak awal abad 20. Dengan demikian, kuliah ini adalah kritik terhadap terhadap basis dasar pemikiran dalam ilmu ekonomi, yang nampaknya mempengaruhi berbagai lini kehidupan di berbagai tempat. Berangkat dari diskusi antropologi ekonomi termutakhir, kuliah ini juga menawarkan bagi antropologi, ilmu sosial, dan tentu disiplin ekonomi akan pentingnya melihat ekonomi kemanusiaan (the human economy) sebagai paradigma dasar memahami dan melangsungkan kehidupan. Hanya dengan mengembangkan hal tersebut, antropologi memiliki kontribusi dalam menawarkan berbagai alternatif cara berkehidupan di tengah habitat alam yang semakin hancur dan risiko kehidupan yang tengah menyebar merata di berbagai belahan dunia.
Biografi Pembicara
Imam Ardhianto adalah staff pengajar di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Selama ini ia memfokuskan penelitian dan pengajarannya pada isu-isu mengenai transformasi sosial-kultural, keagamaan, kekuasaan, hirarki, pertalian sosial, dan kekerabatan. Beberapa publikasi terkait dengan minat tersebut telah dipublikasikan di Jurnal Archipel, Antropologi Indonesia, dan The Asia Pacific Journal of Anthropology. Saat ini ia tengah menyiapkan manuskrip buku, dari hasil disertasinya di Institute of Social Anthropology, Albert Ludwig Universitat Freiburg, mengenai hubungan Adat dan gereja dalam berbagai lintasan sejarah orang Kenyah di pusat Borneo dan kaitannya dengan visi egalitarian Gereja Injili dengan struktur hirarkis adat. Selain riset yang bersifat “akademik” ini, ia juga telah melakukan penelitian untuk rencana pengelolaan hutan desa dan restorasi ekosistem Kawasan hutan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Lampung. Riset tersebut antara lain mendalami secara khusus dinamika dan kemungkinan-kemungkinan pembentukan formasi sosial, transformasi moral ekonomi di masyarakat sekitar hutan, dan mengidentifikasi variasi-variasi bentuk pengelompokan sosial dan juga kultural terkait pengorganisasian sumber daya hutan. Di Departemen antropologi, saat ini ia mengampu mata kuliah Organisasi Sosial-Kekerabatan dan Antropologi Agama. Proyek jangka panjangnya adalah untuk mempublikasikan etnografi komparatif mengenai dimensi pertalian sosial yang egalitarian dan hirarkis pada berbagai masyarakat di Asia Tenggara.
You might also like
PROGRAM BOOK: Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017
DOWNLOAD PROGRAM BOOK Sejak akhir tahun 2016 lalu dinamika sosial di Tanah Air berkembang ke arah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Muncul ke permukaan sebuah gerakan sosial-politik yang, akibat pembiaran,
Globalisasi dan Ledakan Pluralitas
Globalisasi dan Ledakan Pluralitas Oleh: Yudi Latif Dengan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam, melainkan
DILEMA INTELEKTUAL DI MASA GELAP DEMOKRASI: TAWARAN JALAN KEBUDAYAAN
Berbagai kajian antropologi menunjukkan bahwa disiplin ilmu ini mewarisi kedekatan dengan dunia aktivisme, sesuai dengan kodratnya untuk selalu menyuarakan makna kemanusiaan secara luas dengan menghimpun keragaman suara akar rumput dan
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!