PENGARUH KEBUDAYAAN PERANAKAN PADA CORAK HIAS BATIK PESISIRAN
PENGARUH KEBUDAYAAN PERANAKAN PADA CORAK HIAS BATIK PESISIRAN
Oleh: Notty J Mahdi
Forum Kajian Antropologi Indonesia
Museum Tekstil, 21 Maret 2017
Batik Pesisiran adalah batik yang dihasilkan di daerah pesisir utara dan selatan pulau Jawa hingga batik yang dihasilkan di Bengkulu, Jambi, dan Sungai Liek – Sumatra Barat Ragam hias batik Pesisiran lebih bebas karena tidak mengacu pada patokan alam pikiran keraton dan mendapat pengaruh dari berbagai pedagang yang datang dari luar Indonesia seperti pedagang dari Tiongkok dan Arab.
Batik Pesisiran lebih merupakan batik niaga karena batik ini diperdagangkan untuk mendapatkan sedikit uang saat menunggu masa panen, karena pekerjaan membatik adalah pekerjaan sambilan bagi para wanitanya.
Batik Pesisiran, dibuat atas permintaan para pembeli, sehingga corak hias lebih dinamis, pemakaiannya pun tidak terbatas pada kalangan tertentu seperti batik Kraton, karena batik Pesisiran merupakan komoditi dagang wong cilik yang diperdagangkan di pasar lokal, pasar antar kota hingga antar pulau bahkan ke luar negeri.
Batik sebagai salah satu contoh Akulturasi kebudayaan
Batik Pesisir dipakai oleh para gadis peranakan
Lokasi : Rumah peranakan di Ciampea, Bogor
Kebudayaan peranakan memberikan pengaruh pada corak hias batik pesisir yaitu simbol dalam kepercayaan Tionghoa yang berakar pada Taoism, Kongfusianism dan Budhisme, seperti bangau, teratai, ikan, merak, naga sebagai corak hias utama dan corak hias geometris seperti banji sebagai latar batik itu atau kosong dengan isen isen bunga kecil seperti bunga jeruk atau daun semanggi.
Corak hias batik Pesisiran pun beragam dan bebas.
- Pedagang muslim memberi corak khusus pada corak hias batik yang bernuansa Islami dengan warna warna yang khas seperti hijau dan biru (batik besurek Bengkulu, batik Pekalongan Rifaiyah).
- Pedagang Tionghoa turut meramaikan perdagangan batik ini sehingga muncul istilah batik Peranakan
You might also like
Rumusan Diskusi Panel: Darurat Keindonesiaan dalam Intoleransi
Rumusan Diskusi Panel Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif “Darurat Keindonesiaan dalam Intoleransi” Kamis, 23 Desember 2016 Wahid Institute, Jakarta Narasumber: Prof. Dr. Sulistyowati Irianto Dr. Tri Noegroho
Kain Tenun Ikat: Adat Istiadat Sumba
Kain Tenun Ikat: Adat Istiadat Sumba Kain merupakan sumber kebutuhan utama dan tidak ada habisnya selama tradisi atau adat setempat masih dilakukan. Kain-kain Sumba khususnya ditampilkan di dalam upacara-upacara adat,
Pendidikan Nasional dan Kearifan Timur: Menimbang Paradigma Alternatif dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Koentjaraningrat Memorial Lecture X/2013 Pendidikan Nasional dan Kearifan Timur: Menimbang Paradigma Alternatif dalam Pembentukan Karakter Bangsa Sebagai bangsa yang menganggap berbudaya timur, pemahaman mengenai Filsafat Timur cukup asing bagi masyarakat.
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!