Dari Multikulturalisme Kolonial ke Kolonialisme Multikultural

Dari Multikulturalisme Kolonial ke Kolonialisme Multikultural

Oleh Hilmar Farid

Di Indonesia sendiri, politik kemajemukan budaya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era kolonial. Kolonialisme Belanda dibangun di atas dasar pertimbangan yang kita dewasa ini akan kategorikan sebagai kebijakan multikultural. Kita dapat merujuk pada kajian sejarah legal Profesor Soetandyo Wignjosoebroto (Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Van Vollenhoven Institute, 2014) untuk mengidentifikasi beberapa fase dalam perkembangan politik multikultural kolonial di Indonesia:

  • Fase awal (dari era VOC sampai 1870). Sejak VOC membuka kantor di Batavia dan Ambon, kepentingan awalnya bukanlah mengembangkan kekuasaan politik, melainkan kepentingan dagang dan penguasaan akses ke sumber daya alam. Oleh karenanya, VOC tidak berkepentingan  untuk  menyeragamkan  atau  menyatukan  kemajemukan  hukum  adat masyarakat Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda pun meneruskan pendekatan semacam itu. Hal ini nampak dalam Regeringsreglement 1854 Pasal 75 Ayat 3 yang menyatakan bahwa untuk orang-orang pribumi akan diterapkan “hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi” (de godsdienstige wetten, instellingen en gebriuken der Inlanders). Inilah akar dari “multikulturalisme kolonial”.
  • Fase tengah (dari 1870 sampai 1910). Pluralisme hukum itu mengalami perubahan arah pada tahun    1870. Regeringsreglement 1854 mencantumkan pasal tentang kemungkinan diberlakukannya toepasselijkverklaring (penerapan hukum Belanda untuk orang-orang pribumi). Kemungkinan itu ditindaklanjuti menjadi hukum khusus untuk orang-orang pribumi melalui pengesahan Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders pada tahun 1870. Di dalamnya, antara lain, diatur tentang kewajiban para pekerja pribumi yang mengikat kontrak dengan majikan Belanda. Pada tahun yang sama diundangkan pula Agrarisch Wet yang memperkenalkan sistem hak milik (eigendom) dan hak guna usaha (erfpacht). Baik hukum yang mengatur ketenaga-kerjaan dan pertanahan ini bertentangan dengan kemajemukan pranata adat. Sebagai ganti kerja-wajib, Belanda mengenalkan kerja-upahan; sebagai ganti tanah-adat yang dikelola secara komunal, Belanda mengenalkan tanah swasta. Kendati begitu, sebagian besar pranata adat yang tidak mengganggu jalannya liberalisasi dibiarkan bertahan.
  • Fase akhir (dari 1910 sampai 1942). Usaha untuk mengunifikasi hukum Hindia-Belanda tetaplah berlangsung setengah-setengah karena kebijakan pengakuan pada kemajemukan budaya dan pranata adat kaum pribumi masih diadopsi Belanda. Pengakuan itu justru mendapat angin dengan upaya kodifikasi hukum adat yang dibuat van Vollenhoven dalam kitab kompilasi hukum adat terlengkap yang disusunnya pada tahun 1910, yakni Adatwetboekje voor heel Indie. Pengakuan pada kemajemukan hukum adat (seperti dikodifikasi van Vollenhoven) dan otoritasnya untuk menentukan putusan hukum diterima pada dekade 1920-an dan bertahan sampai dengan kedatangan Jepang di tahun 1942. Dengan    begitu, Belanda mengkonsolidasikan Hindia-Belanda ke arah “kolonialisme multikultural”.

Dari uraian sejarah ini, nampak bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia tidak asing dari kebijakan multikultural. Yang terjadi justru pemanfaatan multikulturalisme untuk tujuan kolonial. Dalam hal itu, kita dapat memotret keseluruhan proses kolonisasi sejak VOC sampai jatuhnya pemerintahan Hindia-Belanda sebagai proses peralihan dari multikulturalisme kolonial ke kolonialisme multikultural. Artinya, peralihan dari kebijakan kolonial yang membiarkan kemajemukan budaya Nusantara asal tidak mengganggu perdagangan ke kebijakan kolonial yang secara aktif memanfaatkan kemajemukan budaya untuk mengkonsolidasi rezim kolonial.

Perlu diingat bahwa van Vollenhoven sendiri terinspirasi dari kajian antropologi Snouck Hurgronje, De Atjehers (1893), yang memperkenalkan untuk pertamakalinya istilah Adatrecht. Snouck Hurgronje, pada gilirannya, menuliskan kajian itu  dalam  rangka  mencari  solusi kultural untuk penundukan militer atas Aceh yang telah memakan biaya teramat besar, seperti halnya Perang Diponegoro yang hampir membikin Belanda kolaps secara ekonomi. Jadi, dari situ dapat dibaca bahwa upaya van Vollenhoven mengkodifikasi hukum adat dan mendorong pengakuan atasnya adalah tawaran solusi untuk konsolidasi kolonialisme yang lebih stabil dan murah. Dengan kata lain, tawaran untuk sebuah kolonialisme multikultural.

Jadi multikulturalisme dan kemajemukan tidak seharusnya dipersepsi secara lugu sebagai cita-cita tatanan sosial-budaya yang serba harmonis dan serba-baik. Multikulturalisme dan kemajemukan selalu merupakan bagian dari suatu proyek politik dan ekonomi. Evaluasi tentang baik/buruknya suatu kebijakan multikultural, karenanya, mesti berangkat dengan evaluasi tentang proyek politik dan ekonomi yang diusungnya.

Previous [MAKALAH] Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN
Next DIPONEGORO, PERANG JAWA, DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL

You might also like

KML 2019

Krisis Iklim, Korporasi, dan Penghilangan Ruang Hidup Rakyat

Nur Hidayati telah berkecimpung selama lebih dari 20 tahun dalam isu lingkungan hidup dan pembangunan, dan sebagian besar terkait dengan advokasi kebijakan, serta pendampingan dan pembelaan komunitas korban. Ia memiliki

Agenda

Panduan Pemesanan Sertifikat Elektronik KML XVIII/2021

Pastikan nama lengkap anda tertulis pada daftar hadir. Sertifikat hanya diberikan kepada peserta yang mengisi daftar hadir pada saat acara berlangsung. Biaya Sertifikat Elektronik Rp. 20.000  Silakan pilih metode pembayaran

Agenda

[MAKALAH] Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN

[MAKALAH] Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN Pembicara Pembicara Kunci: Hilmar Farid, Ph.D., Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kemajemukan dan Keadilan. Unduh: KML 2017_Makalah_Hilmar Farid_Kemajemukan dan Keadilan

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply