Nilai Integrasi Nasional Indonesia 8
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Heddy Shri Ahimsa-Putra menyampaikan kuliah publik antropologi Koentjaraningrat Memorial Lecture XV/2018 bertajuk ”Integrasi Nasional dan Ancaman yang Dihadapi” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (19/10/2018). Heddy menyampaikan pemikiran-pemikiran Koentjaraningrat terkait dengan integrasi nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra mengatakan, nilai integrasi nasional Indonesia saat ini adalah 8. Perlu bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai itu.
Nilai 8 yang diberikan oleh Heddy bukan tanpa alasan. Ia memandang ada beberapa indikator yang menentukan. Indikator tersebut antara lain surutnya gerakan sparatis, meningkatnya sarana transportasi dan hubungan antarpulau, meningkatnya pendidikan dan komunikasi, meluasnya ruang budaya etnis, semakin banyaknya simbol nasional, semakin kuatnya Polisi dan TNI serta meningkatnya imagined community atau komunitas yang dibayangkan dengan adanya media sosial.
Tidak munculnya gerakan sparatis belakangan ini patut untuk dipertahankan. Aparat negara dan masyarakat harus bahu-membahu menumpas ideologi-ideologi yang bertentangan dengan nila-nilai pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tak hanya itu pembangunan juga disebutkan sebagai salah satu hal yang mendorong terciptanya integrasi nasional. Pembangunan fasilitas dan sarana transportasi antarpulau misalnya. Hal itu akan mendorong orang untuk mudah dan mau berinteraksi dengan orang lain, yang tidak seetnis dengannya.
Angka penilaian seberapa terintegrasi Indonesia ini menurut Heddy bisa terus berubah, baik bertambah maupun berkurang. ”Tergantung bagaimana upaya kita untuk mencapai integrasi itu sendiri. Sudah saatnya berhenti mencari-cari apa perbedaan di antara kita. Kita harus mau untuk mencari titik temu atas perbedaan yang ada untuk mendorong terciptanya integrasi,” ujar Heddy dalam Koentjaraningrat Memorial Lecture Ke-14 di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Integrasi nasional, menurut Heddy, sebagai situasi di mana anak bangsa dan kolektivitas yang mereka bentuk tetap sepakat berada dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, disintegrasi adalah situasi di mana anak bangsa dan kolektivitas yang mereka bentuk tidak lagi berada dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mereka ingin mendirikan sebuah negara baru yang terpisah dari NKRI.
Integrasi nasional berpotensi melemah karena beberapa hal, seperti adanya ketimpangan sosial ekonomi, intoleransi, rekayasa berita bohong, ujaran kebencian, fitnah, timbulnya ideologi-ideologi non-Pancasila, pembodohan sosial, dan korupsi. Hal-hal seperti ini harus diwaspadai sebagai ancaman. Sebagai bagian dari bangsa, hendaknya masyarakat bersatu padu untuk menangkal virus-virus disintegrasi semacam itu.
Integrasi nasional, ujar Heddy, layaknya bandul yang bergerak. Ada masa ketika bandul berada di posisi integrasi, ada juga masa ketika bandul berada di posisi disintegrasi.
”Pada saat berada di posisi disintegrasi, kita harus segera bangkit dan kembali mengupayakan bagaimana kita bisa kembali ke posisi integrasi. Sementara itu, jika kita sudah berada di posisi terintegrasi, kita harus menjaga bandul itu tetap berada di posisi itu,” kata Heddy.
Relevan dengan kondisi saat ini
Ketua Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) Mulyawan Karim mengatakan, tema kuliah umum yaitu integrasi nasional dipilih karena Koentjaraningrat banyak berpikir soal integrasi nasional. ”Di samping itu, tema ini relevan dengan kondisi kita saat ini,” ucap Mulyawan.
Mulyawan menjelaskan, dalam kondisi menjelang pemilu seperti sekarang ini sejumlah masyarakat gelisah dan khawatir disintegrasi akan terjadi. ”Pola-pola kontestasi sekarang ini, seperti penyebaran ujaran kebencian, eksploitasi berita bohong, itu mungkin bisa menyebabkan perpecahan,” ujarnya.
Sebagai tindakan pencegahan adanya integrasi, masyarakat harus sadar bahwa ada kemungkinan integrasi terjadi jika masyarakat terlena. ”Kita harus waspada dan mengawasi betul. Pemerintah dan aparat-aparat juga harus menunjukkan sikap yang tegas dengan kemungkinan-kemungkinan ini,” kata Mulyawan. (KRISTI DWI UTAMI)
Artikel ini diambil FKAI dari kompas.id (https://kompas.id/baca/utama/2018/10/19/nilai-integrasi-nasional-indonesia-8/) diakses pada 24 Oktober 2018
You might also like
Menuju Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat
Informasi: Sita Satar 081311334391, Inka Rono 081218328729 Daftar Buletin/Newsletter: bit.ly/PakKoen100th
Video Koentjaraningrat Memorial Lectures XVII/2020
Silakan juga simak video secara langsung di tautan YouTube ini https://www.youtube.com/watch?v=k7u2EyPQGfs&t=6331s atau di Halaman Facebook FKAI: https://fb.watch/13lrhkYhTU/
Panduan Pemesanan Sertifikat Elektronik KML XVII/2020
Pastikan nama lengkap anda tertulis pada daftar hadir. Sertifikat hanya diberikan kepada peserta yang mengisi daftar hadir pada saat acara berlangsung. Biaya Sertifikat Elektronik Rp. 20.000 Silakan pilih metode pembayaran
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!