PERAN PEMIMPIN NASIONAL: PEMERSATU BANGSA-NYA

PERAN PEMIMPIN NASIONAL: PEMERSATU BANGSA-NYA

oleh :

S. Budhisantoso
Pusat Studi Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Hidup UI

Peran utama yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro adalah sebagai perekat sosial (Social Integrative Factor) di kalangan masyarakat perdesaan yang terpecah dalam sejumlah komuniti pedesaan yang tersebar di berbagai kawasan atau lungguh yang dikuasai kerabat kraton maupun pejabat tinggi lainnya.

Sebagaimana di ketahui masalah utama yang dihadapi para penguasa Jawa di masa lampau adalah pengerahan tenaga kerja untuk mengolah tanah pertanian yang mereka kuasai sebagai lungguh dan pengerahan pasukan apabila diperlukan raja sewaktu-waktu. Rakyat sebagai kawulo cilik, seolah-olah menjadi bagian yang melekat pada lungguh yang diberikan oleh raja sebagai imbalan kesetiaan kepada para pejabat tinggi. Tanah Lungguh itu dapat ditarik dan dibagikan kembali kepada pejabat baru sebagai penghargaan. Karena itu hubungan antar kawulo cilik dengan pejabat yang bertindak sebagai “tuan tanah” atau majikan (patron) tidak kekal.

Demikian pula mobilitas penduduk cukup tinggi, karena mereka dapat berpindah majikan untuk menghindarkan tekanan yang terlalu kuat, walaupun seringkali harus menghadapi tekanan para centeng. Kemurahan dan besarnya perlindungan majikan menjadi daya tarik yang mempermudah untuk memperluas pengaruh dan menghimpun banyak tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah tanah lungguh maupun untuk dikerahkan sebagai prajurit. Dengan memperbesar jumlah tenaga kerja, seorang pejabat tinggi dapat memperluas lahan pertanian dan memperkaya dirinya serta mendapatkan promosi sesuai dengan besarnya jumlah pasukan yang dapat dikerahkan sewaktu-waktu. Itulah sebabnya kepangkatan para pejabat itu dikaitkan dengan besar kecilnya tenagakerja yang dikuasai dan dapat dikerahkan sebagai pasukan. Mulai dari “Penglawe” atau ketua dari 25 orang, “Paneket” atau limapuluh orang bawahan, “Penatus” atau 100 bawahannya sampai pada “Panewu” atau 1000 orang perajuritnya.

Mengingat kenyataan tersebut, para pejabat kerajaan sangat berkepentingan untuk menghimpun sebanyak mungkin penduduk di wilayah kekuasaannya agar dapat meningkatkan jumlah kekayaan dan mendapatkan promosi jabatan. Dalam suasana tanpa kepastian akibat perebutan tahta yang tidak kunjung berakhir yang berawal pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I, keamanan dan kenyamanan hidup penduduk sangat terganggu. Selain setiap waktu mereka harus meninggalkan keluarga untuk bergabung dengan pasukan penguasa setempat, mereka juga dapat tergusur dari tempatnya bermukim karena pergeseran pejabat dan realokasi tanah lungguh yang terjadi.

Dalam suasana tanpa kepastian itulah masyarakat Jawa memerlukan pemimpin yang dapat menjamin keamanan dan keadilan demi kelangsungan hidup pribadi dan keluarganya. Tokoh Pangern Diponegoro yang selama ini “tersisihkan” kalau tidak menyisihkan diri dari pertikaian politik maupun perebutan kekuasaan, muncul sebagai tokoh panutan yang tepat. Pangeran Diponegoro dikenal luas oleh masyarakat Jawa sebagai pemimpin yang jujur, kuat kepribadiannya dan tanggap terhadap kondisi lingkungan sosial dan budayanya. Iapun dikenal sebagai seorang yang bersahaja dan tidak mendahulukan kekayaan materiil sebagai penganut agama Islam yang setia.

Sikap hidup yang mendahulukan kepentingan rakyatnya bahkan cenderung mengorbankan kepentingannya sebagai putra mahkota demi kesejahteraan rakyat dan keutuhan kerajaan telah berhasil memenangkan hati penduduk yang menerimanya sebagai tokoh pemersatu.

Sesungguhnya, dengan kepribadiannya yang kuat dan tidak mendahulukan keuntungan maupun kedudukannya dalam kerajaan, Pangeran Diponegoro dengan mudah menanamkan dan memperluas pengaruhnya sehingga disegani oleh lawan maupun kawan. Selain kepribadian yang kuat dan darah biru yang  mengalir ditubuhnya,  menjadi kekuatan untuk menanamkan kepercayaan dan memperluas pengaruh sebagai pemersatu, Pangeran Diponegoro juga mempunyai keunggulan sebagai tokoh Islam  yang memperkenalkan  ajaran agama Islam  yang pada waktu itu menjadi lambang pembebasan dari kungkungan adat dan kebudayaan Hindu Jawa yang mengukuhkan struktur sosial yang membedakan hak dan kewajiban penduduk yang berstrata secara tajam.

Dengan ke tiga keunggulan yang dimilikkinya itulah Pangeran Diponegoro dengan mudah mengembagkan perannya sebagai pemersatu kaumnya yang terpecah dalam sejumlah besar komuniti perdesaan dan menjadi rebutan sumberdaya manusia antar penguasa. Peran pemersatu itu bertambah penting ketika masyarakat Jawa mengalami akulturasi akibat meningkatnya intensitas pengaruh kebudayaan asing yang dipaksakan oleh penguasa kolonial. Berbagai peraturan baru yang menyangkut pola-pola interaksi sosial antar sesama warga dan dengan atasan pribumi maupun dengan penguasa kolonial, telah menimbulkan kekacauan orientasi yang berpotensi memecah keutuhan komuniti sampai tingkat pedesaan. Demikian pula berbagai peraturan yang menyangkut “perpajakan” kolonial, telah merubah pola-pola jaringan sosial dan orientasi sosial masyarakat setempat. Keadaan inilah yang menimbulkan kebutuhan akan tokoh pemersatu yang dapat diterima oleh semua pihak, khususnya masyarakat Jawa pada waktu itu.

Kekuatannya sebagai pemersatu itu dibuktikan dalam menghimpun kekuatan pasukan ketika Pangeran Diponegoro hendak memulai perlawanan terhadap kekuatan kemapanan yang memeras dan mengganggu keamanan umum. Dalam waktu yang relatif singkat, Pangeran Diponegoro dapat menghimpun kekuatan “bersenjata” terdiri dari puluhan ribu orang yang berdatangan di pusat perlawanan “rakyat” di Tegalrejo.

Photo: http://historiek.net/de-gevangenneming-van-prins-diponegoro-door-generaal-de-kock-5/16058/

Previous [PERUMUSAN] Koenjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017: KEMAJEMUKAN DAN KEADILAN
Next PEMIMPIN NASIONAL: KECERDASAN DAN TAWAQAL

You might also like

Etnologi

Peranakan Historical Timeline

Peranakan Historical Timeline 9th Century   A Chinese ship (Junk) relief was carved on the Borobudur wall. This indicates a long historical connection between Chinese merchants and Javanese Kingdoms years before

Etnologi

Kampung Tionghoa Pertama di Jakarta

Kampung Tionghoa Pertama di Jakarta Dijumpai ketika armada VOC pertama kali singgah di bandar Jayakarta, 13 November 1596, terletak di sisi timur kali Ciliwung. Kepala kampung disebut Nakhoda Watting, Komunitas

Etnologi

Peranakan: an Indonesian Chinese

Peranakan: an Indonesian Chinese Peranakan is a term used for the descendants of the very early Chinese immigrants to the Southeast Asia region (in Indonesia and Malaysia today or known

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply