Peranakan Tionghoa Indonesia

Peranakan Tionghoa Indonesia


Menurut catatan sejarah, hubungan antara Tiongkok dan Indonesia sudah berlangsung sejak abad ke-2 Masehi, pada zaman Dinasti Han. Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, para pedagang Tiongkok sudah sering mengunjungi Nusantara. Sebagian dari mereka bahkan sudah ada yang bermukim di berbagai daerah, terutama di pantai utara Jawa. Ketika kapal dagang Belanda yang pertama tiba di Teluk Jakarta pada akhir abad ke-16, di sana pun sudah ada permukiman orang Tionghoa.

Pada awal abad ke-17, makin banyak orang Tionghoa yang datang untuk mencari nafkah di Indonesia.  Sebagian besar dari mereka datang secara sukarela, tapi ada pula yang datang karena dipaksa Belanda untuk bekerja di Batavia, kota yang baru mereka dirikan. Karena kehidupan di Nusantara dirasakan lebih baik dan memberi harapan  lebih cerah dibanding di negeri asal mereka, orang Tionghoa  terus berdatangan dalam jumlah besar.

Pada awalnya, kaum imigran Tiongkok ini tidak berniat menetap di Nusantara. Mereka berenca kembali ke negeri asal setelah mengumpulkan kekayaan untuk hidup di hari tua. Oleh karena itu, mereka datang tanpa membawa istri atau kaum perempuan. Namun, gagasan untuk kembali ke tanah leluhur lambat laun ditinggalkan. Banyak di antara orang Tionghoa ini yang kemudian menetap di Indonesia untuk selamanya. Mereka juga kawin dan  hidup bersama perempuan lokal serta menghasilkan keturunan berdarah campuran.

Seiring dengan itu, lahirlah golongan sosial  yang disebut sebagai Tionghoa Peranakan, Tionghoa Peranakan, atau Peranakan saja.  Mereka adalah kaum keturunan Tionghoa. Mereka adalah kaum keturunan Tionghoa  yang secara fisik maupun kebudayaan berbeda  dengan nenek moyang mereka di Negeri Tionghoa.

Kebudayaan kaum Peranakan ini, yang kemudian selama berabad-abad, hingga hari ini,  ikut memperkaya berbagai aspek kebudayaan Nusantara. Sebagian besar unsur kebudayaan ini bahkan sudah begitu membumi, terserap secara total dalam kebudayaan lokal, sehingga tak lagi dirasakan atau diketahui sebagai hal yang asing. Luku, alat pembajak tanah yang dikenal di Jawa, misalnya, sesungguhnya merupakan alat pertanian purba  yang berasal dari daratan Tionghoa.

Foto: Keluarga Peranakan Tionghoa di Tangerang (Dokumentasi FKAI )

Previous Usulan Antropolog untuk Presiden Indonesia
Next Seni pertunjukan Bali pengaruh dari kebudayaan Tionghoa

You might also like

Etnologi

Peranakan Historical Timeline

Peranakan Historical Timeline 9th Century   A Chinese ship (Junk) relief was carved on the Borobudur wall. This indicates a long historical connection between Chinese merchants and Javanese Kingdoms years before

Etnologi

Pangeran Diponegoro & Masalah Kepemimpinan Nasional

Pangeran Diponegoro & Masalah Kepemimpinan Nasional Pertama. Menurut Prof. Subur Boedhisantoso, “Kelangsungan hidup suatu kelompok sosial – betapapun kecilnya tergantung pada keberhasilannya mempersiapkan generasi penerusnya”. Kedua. Menurut Prof. Carey berdasarkan

Etnologi

Peranakan: an Indonesian Chinese

Peranakan: an Indonesian Chinese Peranakan is a term used for the descendants of the very early Chinese immigrants to the Southeast Asia region (in Indonesia and Malaysia today or known

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply