DILEMA INTELEKTUAL DI MASA GELAP DEMOKRASI: TAWARAN JALAN KEBUDAYAAN
Berbagai kajian antropologi menunjukkan bahwa disiplin ilmu ini mewarisi kedekatan dengan dunia aktivisme, sesuai dengan kodratnya untuk selalu menyuarakan makna kemanusiaan secara luas dengan menghimpun keragaman suara akar rumput dan menyuarakannya untuk mencari makna keadilan, keberagaman pikiran, dan mengemasnya untuk kepentingan perjuangan yang bersifat emansipatoris.
Meski pada 22 April lalu, dalam sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres), Mahkamah Konstitusi telah menolak seluruh gugatan Pasangan Calon (Paslon) 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan Paslon 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD), serta menenangkan Paslon 02 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka), kontroversi publik terkait dugaan telah terjadinya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif masih terus terjadi.
Pemerintahan Presiden Jokowi dinilai lambat dalam merespons suara protes dari kalangan akademik perguruan tinggi terkait berbagai tuduhan kecurangan itu. Sementara itu, partai politik di Parlemen juga tidak proaktif untuk memulai proses Hak Angket guna mengungkap dengan terang tentang dugaan pelanggaran moral dan etika tersebut. Malahan pembentukan oposisi menjadi melambat dan cenderung terjadi transaksi untuk koalisi-koalisi kompromistis dalam pemerintahan ke depan. Kondisi ini menandakan adanya ancaman serius terhadap demokrasi Indonesia. Indonesia tampaknya sedang diarahkan keluar dari nilai-nilai demokrasi yang menjadi esensi konstitusi. Usaha ini justru oleh pilar-pilar negara sendiri, baik oleh badan-badan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.
Regresi dalam demokrasi Indonesia sesungguhnya terjadi jauh sebelum Pemilu 2024. Berikut ini adalah contoh: Revisi UU KPK untuk mengurangi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi, pengesahan RKUHP yang potensial membatasi kebebasan sipil, pemberantasan Ormas, pengesahan UU Cipta kerja yang melemahkan hak buruh, usaha melibatkan kembali TNI ke dalam politik, serta intensifikasi penggunaan kekerasan aparat di Papua.
Dalam situasi demokrasi diujung tanduk, hanya gerakan sipil di luar lembaga-lembaga negara yang mampu menyelamatkan demokrasi. Sejarah membuktikan bahwa gerakan sipil di Indonesia punya peranan dalam menyelamatkan Indonesia dari krisis demokrasi. Dengan mempertimbangkan bahwa seruan dan himbauan moral tidak cukup didengar, maka perlu usaha-usaha yang lebih keras dari masyarakat sipil untuk “memaksa” perbaikan kualitas demokrasi sesuai dengan konstitusi.
Namun, sejauh mana kaum akademisi akan dapat mengenali posisinya sebagai penyeru, pengingat, dan kritikus terhadap penyelewengan? Problematik Posisi Akademisi sebagai Intelektual dalam Masyarakat Sipil Peran intelektual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkait dengan posisi-posisinya dalam relasi sosial luas melibatkan birokrasi negara, perguruan tinggi, organisasi bisnis-industrial, dan dinamika masyarakat sipil.
Peran intelektual Indonesia terbagi ke dalam tiga posisi:
- Akademisi ”bebas nilai”. Mereka yang meyakini bahwa pekerjaan intelektual adalah membentuk ide-ide yang bebas dari kepentingan segelintir orang. Intelektual bertanggung jawab kepada universalisme ilmu pengetahuan. Konsekuensinya mereka mengembangkan teori-teori untuk mengembangkan ilmu pengetahuan saja.
- Akademisi sebagai konsultan organisasi negara dan swasta. Mereka meyakini bahwa tugas intelektual adalah membumikan teori menjadi bentuk-bentuk aplikatif (applied sciences – terapan) yang dapat digunakan untuk memperkuat konsep pembangunan, perancangan, dan peningkatan produktivitas. Konsekuensinya, mereka mengembangkan strategi-strategi menyangkut pertumbuhan ekonomi sebagai konsultan bisnis atau staf ahli kebijakan.
- Akademisi untuk Publik. Mereka meyakini bahwa tugas akademisi adalah membumikan teori menjadi bentuk-bentuk aplikatif bagi pembangunan masyarakat sipil. Mereka memperkuat konsep-konsep gerakan sosial, membangun kemandirian komunal dan membangun kesadaran tentang hak-hak warganegara sebagai bagian dari kewajiban intelektualnya. Mereka ada dalam posisi sebagai pegiat lembaga swadaya masyarakat dan melakukan keberpihakan kepada kaum yang lemah dan tertindas.
Posisi pertama dan kedua dominan dalam diskursus akademik di kampus-kampus. Bahkan kaum akademik berada dalam kedua posisi itu secara bolak-balik atau berkaki dua, sementara posisi ketiga jauh lebih sedikit. Keadaan ini ditopang oleh ekosistem akademik universitas-universitas Indonesia pada masa Orde Baru yang menempatkan dunia akademik sebagai kawasan steril terhadap gerakan sosial masyarakat sipil. Kaum akademisi di perguruan-perguruan tinggi negeri diposisikan sebagai subjek-subjek perpanjangan birokrasi negara, sementara rekan-rekan di perguruan tinggi swasta diwajibkan mengikuti pola birokrasi pendidikan dengan pola itu untuk mendapat rekognisi dari negara. Konsekuensi birokrasi pendidikan adalah menciptakan rutinitas yang menyamar menjadi tujuan utama dari pendidikan sendiri. Akademisi dalam posisi pertama dan kedua menganggap realitas sosial eksternal sebagai bagian dari birokrasi, bagian dari pengulangan, bagian dari kebiasaan dan normalitas hidup. Pada masa Orde Baru, disiplin dan rutinitas memang disadari sebagai instruksi untuk dipatuhi dan menjadi norma yang diwariskan. Namun, selalu ada celah. Negara tidak punya kekuasaan sepenuhnya untuk menguasai semua ruang sehingga perlawanan tetap ada. Gerakan sosial dan aktivisme akademik terjadi dengan militan pada sebagian kecil, berjejaring dengan gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa walau di bawah pemerintah fasis Soeharto sekalipun.
Pada masa pasca-Reformasi keadaan menjadi lebih parah ketika norma neoliberalisme masuk ke kampus. Privatisasi, deregulasi, dan besar bebas berimbas kepada komersialisasi pendidikan. Universitas menjadi lebih fokus pada keuntungan dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Universitas dituntut untuk mengadakan pembiayaan sendiri, menarik biaya pendidikan yang mahal dan menciptakan pola pendidikan yang menarik bagi investor. Para akademisi mendapatkan tekanan lebih berat karena neoliberalisme menutup ruang-ruang kritis melalui efisiensi teknologi untuk membangun nilai pertumbuhan selayaknya perusahaan. Kinerja akademik kehilangan makna karena kehidupan akademik seorang pengajar dihitung dari keberhasilannya untuk menjadi operator sistem komputer yang diawasi secara nasional. Sistem pengawasan berbasis teknologi bukan saja mengerdilkan makna pemikiran kritis, tapi menjadi raksasa panoptikon untuk memberangus peran-peran akademik yang hakiki.
Memetakan musuh demokrasi yang semakin samar di era kepresidenan Joko Widodo, beberapa faktor dan kebijakan telah memunculkan keprihatinan terkait kemunduran demokrasi di Indonesia. Berikut adalah analisis tentang musuh demokrasi yang perlu dipahami sebagai penerjemahan KKN: 1) Politik Dinasti, 2) Intervensi Konstitusi, 3) Intervensi dan kolusi terhadap partai-partai politik demi kekuasaan, 4) Minimnya transparansi dan pelibatan masyarakat sipil, 5) Tindakan represi terhadap kebebasan sipil, 6) Konsolidasi Kekuasaan melalui penggunaan alat-alat Negara, dan 7) Pembiaran neoliberalisme dalam sektor-sektor publik.
Tujuh poin tadi bermuara pada pembentukan nilai budaya dan norma politik antidemokrasi, yaitu nilai budaya impunitas yang membiarkan pelanggaran-pelanggaran norma dan hukum dilakukan tanpa pertanggungjawaban dan bahkan dilindungi, diformalkan, serta dibuat aspek legalitasnya. Pada masa Orde Baru ketujuh persoalan di atas memang sudah ada. Namun pada masa itu kekuasaan yang menindas berlangsung secara vertikal dan hierarkis di mana birokrasi negara dan aparat dapat membentuk satu wajah yang jelas sebagai “musuh bersama”. Pada masa pasca-Reformasi keadaan sudah berubah ketika Orde Baru mengalami transformasi menjadi lebih kuat. Penetrasi kekuasaan menjadi lebih besar ketika nilai-nilai anti demokratis telah menjadi norma yang disetujui dan diterima secara hegemonik sebagai bagian dari “kearifan lokal”. Sebagai contoh adalah pembenaran pembenaran untuk tindakan koruptif dan anti-demokrasi justru dibungkus oleh bagaimana bangsa ini dianggap memiliki sejarah patrimonialisme yang menjadi budaya bangsa. Demokrasi memang selalu menghadapi tantangan, namun bukan berarti bahwa tantangan itu kemudian dibiarkan menjadi hal normatif. Pada masa Soeharto, istilah “kroni” memiliki konotasi negatif sehingga jaringan transaksi koruptif berlangsung malu-malu dan harus ditutupi. Pada masa Jokowi “politik dinasti” dianggap menjadi norma baru yang dianggap wajar untuk diumumkan sebagai fakta hukum. Wajah samar ini mendudukkan demokrasi bukan saja dibajak, tetapi menjadi sesuatu yang berbahaya dalam kehidupan.
PEMBICARA, PENANGGAP, MODERATOR
Pembicara
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, guru besar antropologi hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Penanggap/Moderator
Suraya A. Afiff, Ph.D, pengajar antropologi Univesitas Indonesia, Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI)
WAKTU DAN TEMPAT
Senin, 3 Juni 2024, Pkl 09.00 – 12.00 WIB,
Auditorium Mochtar Riady, Fakulitas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI)
Pendaftaran: http://bit.ly/daftarKML2024
Info lanjut: 081288191357 (Amalia Shadily), 081314399644 (Sipin Putra)
FORUM KAJIAN ANTROPOLOGI INDONESIA
Forum Kajian Antroplogi Indonesia (FKAI) adalah sebuah yayasan yang bertujuan ikut mengembangkan antropologi dan kajian budaya Indonesia. Didirikan oleh sejumlah antropolog dari berbagi perguruan tinggi di Indonesia dan sarjana antropologi yang berkarya di luar lembaga perguruan tinggi dan instansi pemerintah.
KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURES
Koentjaraningrat Memorial Lectures (KML) merupakan acara diskusi panel yang diselenggarakan untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa Prof. Koentjaraningrat, perintis dan pengembang pertama antropologi di Indonesia. KML merupakan agenda kegiatan tahunan FKAI yang sudah dilaksanakan sejak lembaga nirlaba ini resmi berdiri pada tahun 2004. Tema yang diangkat dalam acara diskusi yang juga merupakan kuliah umum ini biasanya terkait dengan masalah-masalah aktual yang tengah dihadapi bangsa
You might also like
Koentjaraningrat Memorial Lectures XV/2018: INTEGRASI NASIONAL DAN ANCAMAN YANG DIHADAPI
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah sering menghadapi berbagai ancaman disintegrasi. Merespon kenyataan sejarah ini, Prof. Koentjaraningrat, guru besar pertama antropologi Indonesia, memandang penting hadirnya integrasi nasional dalam proses yang terus
Membangun Kehidupan dari Reruntuhan: Nilai, Ekonomi-Ekonomi Kemanusiaan dan Pertalian Sosial di Tengah Pandemi
Imam Ardhianto, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Ada yang salah dengan cara kita membicarakan pandemi. Semenjak bermulanya pandemi Covid-19, pemerintahan di seluruh dunia memperdebatkan apakah sebaiknya pemerintah dan
KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURES XVII/2020: Menerawang Peradaban dan Kemanusiaan Pasca Pandemi Covid-19
Pandemi bukan baru. Covid-19 adalah wabah besar ke-16 yang tercatat dalam sejarah. Berkaca pada masa lalu, pada tahun 430 SM atau 2.430 tahun silam, terjadi wabah di Athena yang memusnahkan
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!