Profil Pemimpin dan Strategi Meraup Massa

Profil Pemimpin dan Strategi Meraup Massa

oleh : Sipin Putra

email: sipin.putra(at)gmail.com

ilustrasi gambar: http://www.oxfordpresents.com/ms/welsch/cover/

Tulisan ini membahas mengenai salah satu budaya politik yang pernah ada dalam sejarah peradaban bangsa. Budaya politik merupakan suatu sistem yang didalamnya terdapat pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan, norma dan aktivitas politik dari suatu masyarakat. Sejarah memperlihatkan bahwa budaya politik juga mengalami perkembangan sejalan dengan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Keberagaman nilai budaya merupakan faktor utama yang menyebabkan semakin beragam konsep budaya politik itu sendiri. Budaya politik yang ada di Indonesia juga mengalami perkembangan. Hal ini dipengaruhi oleh pemerintahan dan tingkat kematangan demokrasi di negara kita. Masing-masing pemimpin mempunyai gaya dan profil berbeda dalam mengatur negara Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian kita mengenal sang proklamator, Ir. Soekarno sebagai presiden dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Beliau mempunyai aura dan wibawa yang luar biasa di mata masyarakat bahkan pemimpin negara-negara lain. Selain itu Bung Karno juga dikenal sebagai orator yang ulung. Presiden Soeharto pun mempunyai profil yang berbeda, beliau dikenal sebagai bapak pembangunan. Gaya kepemimpinan yang sedikit otoriter membuat negara kita terasa “tenang-tenang” saja selama 32 tahun. Maka muncullah istilah “enak jamanku tho” sebagai salah satu wujud kegamangan hidup masyarakat yang serba sulit di jaman reformasi sekarang ini. Masing-masing mempunyai kebijakan tersendiri dalam menjaga stabilitas negara.

Dalam perkembangannya budaya politik yang dipakai seorang pemimpin negara telah mengalami perubahan yang disebabkan budaya dari luar. Globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipungkiri mampu masuk dalam lini kehidupan sehari-hari masyarakat bahkan di pelosok Indonesia. Yang unik, ternyata profil seorang pemimpin dan budaya politik mereka dalam meraup massa hampir tidak mengalami perubahan. Sejarah menunjukkan bahwa profil atau sosok seorang pemimpin di mata masyarakat sangat penting terutama saat masyarakat melihat dalam pandangan pertama. Teori “Big Man” System dalam bukunya Ted . C Lewellen;Political Anthropology, an introduction,1980 hal.18 menjadi penanda awalnya pada era pre-industrial political system bahwa calon pemimpin sebuah masyarakat atau komunitas pasti dicari yang berbadan besar,menonjol diantara yang lain, tampang menawan, postur tubuh sempurna setidaknya enak dipandang bila dibandingkan dengan calon lainnya. Hal ini menandakan  first sight (pandangan pertama) adalah fisik yang menentukan seseorang layak menjadi pemimpin atau juara dalam sebuah kompetisi.

Sejarah telah menunjukkan bahwa sebuah band (kelompok) maka pemimpinnya pasti terlihat menonjol dibanding anggota lainnya. Begitu pun juga pentolan dari sebuah grup band (musik) umumnya adalah anggota yang paling menawan, mempunyai aura dan menonjol dibanding anggota lainnya. Seperti kita ketahui, jika kita mengenal grup band Noah (awalnya Peter Pan) maka yang langsung teringat adalah sosok sang vokalis, Ariel sebagai pentolannya. Demikian juga kepala suku selalu yang terlihat profilnya pasti bertubuh sempurna, tegap, menonjol dibanding anggota suku tersebut. Profil seorang pemimpin atau pemenang dalam sebuah kompetisi pastinya terlihat lebih menarik dan menonjol dibanding yang lainnya. Hal ini tampak dalam pemilihan kontes kecantikan, kontes adu bakat menyanyi yang sering diadakan di TV Indonesia. Mau tidak mau ataupun secara sadar kita akan menilai dari pandangan pertama secara fisik terlebih dahulu. Perilaku ini sudah membudaya dan menjadi pertimbangan bagi kita dalam mengambil keputusan untuk bekerja sama atau mengajak seseorang dalam sebuah kegiatan. Karena sudah menjadi bagian dari budaya politik maka perilaku ini berada dalam alam bawah sadar sehingga perilaku ini tidak tergantung pada tingkat pendidikan seseorang atau gaya hidupnya.

Ted . C Lewellen sebagai antropolog Inggris menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat berawal dari sebuah band (kelompok) yang sederhana kemudian meningkat menjadi lebih kompleks. Awalnya sebuah kelompok yang kemudian berkembang menjadi komunitas cenderung menggunakan kekerabatan mereka dalam kehidupan sosial politik mereka. Anggota kelompok yang masih sedikit dan bersifat egaliter maka pemimpinnya pun yang ditunjuk adalah individu yang paling “menonjol” diantara individu lainnya. Proses regenerasi pemimpin pun akhirnya digantikan oleh anak-anak mereka yang juga tumbuh besar mempunyai fisik lebih menawan bila dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Dalam cerita dongeng ataupun sejarah, tampak dijelaskan seorang raja selalu digambarkan tegap, gagah, menawan sehingga terlihat lebih cocok untuk menjadi pemimpin. Bahkan dalam pemilihan regu berkemah atau ketua kelas terkadang dipilihlah siswa yang berbadan paling tinggi, paling besar bukan karena kecakapannya dalam memimpin teman-temannya.

Begitu pun juga ketika Band kemudian berkembang menjadi Community-Tribes dan kemudian menjadi sebuah States. Awalnya dalam band masih bersifat egalitarian akhirnya berkembang menjadi stratified. Maka seorang pemimpin mempunyai posisi dan stratifikasi tertinggi dalam sebuah komunitas atau bangsa. Tidak salah jika kemudian secara genetika, pemimpin yang “menawan” ini pun untuk melestarikan kepemimpinannya kemudian menggunakan tali kekerabatan. Bahkan mereka pun kawin dengan orang-orang yang berada dalam satu level sehingga genetika pemimpin akan tetap terwarisi pada anak cucu mereka. Tidak salah kemudian kita sebagai masyarakat akan berdecak kagum melihat perkawinan putra mahkota atau anak raja, salah satunya karena fisik mereka yang nyaris “sempurna”, kemudian kelahiran bayi-bayi mereka juga “sempurna” dan akan mendapatkan kemudahan dalam berkompetisi menjadi pemimpin menggantikan orang tuanya.

Oleh karena itu teori Big Man System masih tetap terlestarikan hingga sekarang. Profil pemimpin pertama kali terlihat dari tampilan fisik yang berbeda dari calon lainnya. Kemudian ditambah unsur penting lainnya yaitu kemampuan dan gaya bicara yang akhirnya mampu menghipnotis masyarakat untuk memilihnya. Sebagai bahan informasi, Partai Demokrat yang menghentak pada pemilu tahun 2004 tidak terlepas dari profil seorang SBY. Secara fisik memang nyaris sempurna, berbadan tegap, menawan dengan gaya bicara dan gerak tangan yang meyakinkan. Profil SBY mampu menghipnotis warga Indonesia yang akhirnya mengantarkan beliau menjadi presiden selama 2 periode.  Profilnya yang berbeda dengan calon lainnya (pada waktu itu Ibu Megawati) dijadikan oleh tim suksesnya sebagai strategi dalam meraup massa sehingga pada waktu itu mampu menarik simpati masyarakat Indonesia sejak pandangan pertama. Urusan kinerja nantinya bagi masyarakat bukan sesuatu yang masih diperdebatkan. Yang terpenting adalah momen siapakah nantinya yang menang dalam kompetisi Pemilu.

Setidaknya teori Big Man system ini masih dipakai dalam strategi oleh pemimpin-pemimpin daerah dalam memenangkan kompetisi Pilkada akhir tahun 2015 ini. Banyak calon-calon pemimpin daerah ini yang memasang foto dengan tampilan fisik yang meyakinkan, rupawan dan menawan. Kelebihan ini dipakai oleh mereka sebagai strategi dalam meraup massa. Seperti kita ketahui mantan artis sinetron, Zumi Zola dengan wajah yang rupawan telah mengantarkannya menjadi seorang Bupati di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan sekarang Gubernur Jambi. Bahkan di kabupaten tersebut telah dibentuk semacam organisasi ibu-ibu pencinta Zumi Zola. Teori Big Man System juga tampak dalam pemilihan anggola legislatif tahun 2014 lalu, dimana banyak artis yang mengandalkan “kelebihan” fisik dan sebagai senjata awal dalam berstrategi meraup massa. Senjata berikutnya adalah ketenaran dan kekayaan sebagai dampak positif dari kelebihan fisik mereka. Pada akhirnya mengantarkan beberapa bintang film dan sinetron kemudian duduk di kursi parlemen. Secara tidak sadar mata kita melihat pertama kali calon pemimpin kita dari fisiknya. Tinggal bagaimana kita mengetahui strategi mereka dalam berkompetisi sehingga nantinya pada pilkada serentak akhir 2017 kita memilih yang rupawan namun juga mempunyai kemampuan.

Previous Gerakan Antropolog Untuk Indonesia Yang Bineka dan Inklusif
Next Dinamika Kain Tenun Tradisional Sumba

You might also like

Kekinian

SATU INDONESIA: Masyarakat Majemuk

SATU INDONESIA: Masyarakat Majemuk Oleh : Alm. Prof. Dr. Parsudi Suparlan (Guru Besar Antropologi UI) Masyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan dan

Kekinian

Kuliah Publik Antropologi – Integrasi Nasional dan Ancaman yang Dihadapi

Buku Program Koentjaraningrat Memorial Lectures XV/2018 Berisi kuliah publik antropologi ‘Integrasi Nasional dan Ancaman yang Dihadapi’ oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra Sila unduh di Buku Program KML XV 2018

Kekinian

[Bukan Catatan Lapangan] Edward Mahasiswa Perahu

[Bukan Catatan Lapangan] Edward Mahasiswa Perahu oleh: Sipin Putra Fenomena lucu dan tidak biasa saya temui ketika melakukan penelitian lapangan di Manokwari. Ini merupakan kunjungan pertama saya ke Manokwari, Papua

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply