KONSEP KULTUR DALAM ANTROPOLOGI

KONSEP KULTUR DALAM ANTROPOLOGI
Oleh: Amri Marzali

Permasalahan
Kultur atau culture dalam bahasa Inggris adalah konsep dasar dalam antropologi sosiokultural. Menurut Raymond Williams (1958) culture adalah salah satu konsep yang paling ruwet dalam bahasa Inggris. Ada berbagai definisi tentang culture atau kultur. Pada tahun 1952 dua orang antropolog menemukan sekitar 164 definisi tentang kultur (Kroeber & Kluckhohn, 1952).

Dalam bahasa Indonesia kata culture diterjemahkan secara bercelaru oleh berbagai penulis. Ada yang menerjemahkannya menjadi kebudayaan dan ada pula yang menjadi budaya. Bahkan seorang penulis menerjemahkan culture secara bertukar-tukar dalam satu tulisan, menjadi kultur di satu halaman dan menjadi kebudayaan di halaman yang lain.

Ambil contoh Ignas Kleden, dalam satu makalah, Kleden menerjemahkan “political culture” menjadi “kebudayaan politik” dan “cultural politics” menjadi “politik kebudayaan”. Dua-duanya, baik culture maupun cultural diterjemahkan menjadi kebudayaan. Padahal kedua kata itu mempunyai makna yang berbeda.

Baik budaya maupun kebudayaan bukanlah kata dan konsep asli hasil pemikiran bangsa Indonesia. Di Indonesia kata budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Belanda cultuur. Awalnya adalah seorang intelektual Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana, yang menerjemahkan kata cultuur menjadi kebudayaan, dalam satu makalah yang terbit satu tahun menjelang Sumpah Pemuda 1928. Tulisan Alisjahbana itu berkembang menjadi sebuah polemik tentang kebudayaan Indonesia antara para intelektual Indonesia. Dalam polemik ini seluruh peserta mengikuti cara Alisjahbana menerjemahkan kata cultuur menjadi kebudayaan (dalam Mihardja, 1948).

Sebagai peneliti antropologi, saya melihat culture sebagai kata benda, benda konkrit maupun benda abstrak, bukan kata yang dibendakan, dan juga bukan kata adjektif. Penerjemahan kata cultuur bahasa Belanda, atau culture bahasa Inggris, menjadi ke-budaya-an (kata adjektif) saya anggap kurang tepat. Sekitar tahun 1981 saya tanya kepada almarhum Pak Achdiat K. Mihardja, penyunting buku Polemik Kebudayaan (1954), “Mengapa intelektual Indonesia zaman dahulu menerjemahkan cultuur menjadi kebudayaan?” Beliau menjawab bahwa kata itu diterjemahkan begitu saja oleh para peserta polemik.

Seorang rekan mengatakan “…baik budaya maupun kebudayaan adalah kata benda. Jika demikian, apakah kata sifat dari budaya atau kebudayaan dalam bahasa Indonesia”? Jawabannya adalah tidak ada (Ahimsa Putra, 1999: 9). Seorang pakar bahasa mengatakan bahwa kaidah struktur bahasa Indonesia memungkinkan dilakukannya pertukaran peran antara kata sifat dan kata benda. Budaya dapat dijadikan kata sifat maupun kata benda, demikian pula halnya dengan kebudayaan yang dapat dijadikan kata benda maupun kata sifat (Masinambow, 1999: 14). Jawaban ini saya anggap tidak menyelesaikan masalah.

Penerjemahan kata culture ke dalam bahasa Indonesia saya anggap penting, karena dalam antropologi sosiokultural terdapat banyak kata-kata baru yang terbentuk dari kata dasar culture, seperti cultural, cultured, culturize, enculturation, dan acculturation. Bagaimana kita menerjemahkan kata-kata baru itu, kalau culture didefinisikan menjadi kebudayaan ?

Mengingat hal tersebut, dalam berbagai kesempatan saya cenderung menulis kultur dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan culture dari bahasa Inggris atau cultuur dari bahasa Belanda. Kadangkala, dalam situasi tertentu, saya menggunakan kata budaya, tapi tidak kata kebudayaan.

Definisi kultur
Konsep kultur awalnya berasal dari Jerman, hampir sama dengan konsep civilisation dari Perancis. Tetapi definisi awal tentang kultur justru berasal dari antropolog Inggris, Edward B. Tylor (1871). Tylor mengatakan “Culture or Civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” (Budaya atau Peradaban, dilihat dari keluasan pemahaman etnografiknya, adalah suatu keseluruhan yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan apa saja kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat). Definisi Tylor ini bertahan sangat lama dan berpengaruh terhadap ilmu-ilmu sosial secara umum.

Karena pengertiannya yang remang-remang, setelah Tylor, berkembang lebih dari seratus definisi tentang kultur. Pada tahun 1952 dua orang antropolog besar Amerika menemukan 164 definisi tentang kultur. Satu rangkuman dari definisi-definisi tersebut telah dirumuskan mereka sebagai berikut. “Kultur terdiri dari pola-pola, eksplisit atau implisit, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan disampaikan dengan simbol-simbol, membentuk pencapaian kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam artefak-artefak” (Kroeber dan Kluckhohn, 1952: 357). Definisi ini mengandung arti bahwa kultur secara substantif terdiri dari tiga komponen, yaitu 1) pola-pola perilaku, 2) pedoman untuk berperilaku (termasuk norma, nilai, moral, adat, dan sebagainya), dan 3) perwujudannya dalam benda-benda artefak.

Kultur, dalam bentuk tiga komponen itu, diperoleh dan disampaikan secara simbolik, yaitu mengandung makna yang lebih dalam dan lebih luas daripada wujud nyatanya. Terakhir, kultur adalah milik bersama suatu kelompok sosial, dan dapat digunakan untuk menilai pencapaian kemanusiaan dari kelompok sosial tersebut. Artinya kultur dapat digunakan sebagai kayu pengukur tingkat kemanusiaan suatu kelompok sosial.

Setelah tahun 1960an, dalam antropologi berkembang tiga aliran dalam mendefinisikan kultur, yaitu aliran simbolik, struktural, dan adaptif-evolusionaris. Saya lebih suka membaginya ke dalam dua kubu besar, yaitu kubu ideasional yang melihat kultur sebagai sistem pemikiran (ide) dan norma, dan kubu sistem adaptif yang melihat kultur dari sudut pandang materialistik dan evolusionaris.

Kubu ideasional didukung oleh tokoh-tokokh besar seperti Geertz, Lévi-Strauss, Schneider, dan Goodenough. Dua penganut aliran ideasional, Keesing dan Strathern, mengatakan bahwa kultur terdiri dari “Sistem-sistem pemikiran, sistem-sistem konsep, dan aturan dan makna yang dimiliki bersama, yang mendasari dan diwujudkan dalam cara-cara hidup manusia” (Keesing and Strathern, 1998: 16). Definisi ini melihat kultur sebagai perihal yang abstrak, sebagai sistem pemikiran, sistem pengetahuan, sistem norma, dan sistem makna yang menjadi dasar, dan terwujud, dalam cara hidup manusia. Kubu ini mengeluarkan komponen-komponen kongkrit, pola perilaku dan benda-benda artifak, dari kultur.

Komponen-komponen yang kongkrit itu tidak dilihat sebagai kultur, tetapi sebagai hasil atau wujud dari kultur. Misalnya, candi Borobudur yang agung itu bukanlah kultur Indonesia, tetapi hasil dari kultur Indonesia. Borobudur adalah hasil dari sistem pemikiran, sistem pengetahuan, dan sistem norma, yang disampaikan secara simbolik, dan menjadi milik bersama suatu kelompok penduduk Indonesia pada masa itu. Borobudur bukanlah hasil budaya bangsa Indonesia, karena pada waktu itu belum ada bangsa Indonesia. Borobudur adalah hasil budaya sebuah kerajaan yang katanya bernama Sriwijaya, pada abad ke-8 M. Kini Sriwijaya dan Borobudur dianggap sebagai cultural heritage bangsa Indonesia.

Contoh lain adalah perilaku unggah-ungguh dalam masyarakat Jawa. Unggah-ungguh bukan kultur Jawa, tapi hasil atau wujud simbolik dari kultur Jawa. Kultur Jawa adalah sistem pemikiran, sistem pengetahuan, dan sistem aturan dan makna yang menghasilkan perilaku unggah-ungguh itu.

Sementara itu, kubu sistem adaptif, yang diwakili antara lain oleh Marvin Harris, melihat kultur sebagai satu keseluruhan cara hidup (a total way of life) dari sebuah masyarakat. Keseluruhan cara hidup ini dihasilkan oleh berbagai kondisi dan institusi sosial, yang terpenting adalah teknologi, ekonomi, pola pemukiman, bentuk-bentuk kelompok sosial, organisasi politik, dan praktek-praktek keagamaan (Harris, 1980).

Definisi aliran adaptif itu melihat kultur sebagai potret kehidupan yang khas dari suatu kelompok masyarakat. Sebuah kultur tidak terdiri dari komponen-komponen yang terlepas satu dari yang lain, tetapi satu gambaran utuh kehidupan sekelompok manusia yang bersifat sistemik. Satu kultur adalah keseluruhan dimana setiap komponen terkait satu dengan yang lain. Kultur adalah sistem sosiokultural suatu masyarakat.

Salah satu cabang dari kubu sistem adaptif ini adalah aliran cultural materialist. Dikatakan oleh seorang ahlinya, Marvin Harris, prinsip teoretis dari cultural materialist adalah perhatian terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antara komponen-komponen dari satu sistem sosiokultural dengan evolusi masyarakat (Harris, 1979: 47).

Dari keempat rumusan definisi di atas, yaitu dari Tylor, dari Kroeber dan Kluckhohn, dari kubu ideasional, dan dari kubu sistem adaptif, dapat disimpulkan bahwa kultur terdiri dari tiga ranah, yaitu:

  • ranah ideasional seperti norma (morals, custom, law, rules), pemikiran (ideas, concepts, knowledge, worldview), dan nilai (values, beliefs, meanings, orientations, and underlying assumptions).
  • ranah perilaku yang terpola (patterns of behavior), dan
  • ranah teknologi dan benda konkrit (artifacts).

Antara keempat kubu ini, hanya kubu ideasional yang menyatakan secara eksplisit hubungan linear antara ranah ideasional (norma-pemikiran-nilai) terhadap ranah perilaku dan ranah teknologi dan artifak. Dikatakan bahwa sistem norma-pemikiran-nilai berfungsi sebagai dasar yang membawa pengaruh terhadap perilaku dan objek material. Dari sisi lain, pola perilaku dan teknologi dan artifak dilihat sebagai hasil atau wujud dari sistem norma-pemikiran-nilai.

Dalam buku-buku pengantar antropologi di Amerika, banyak pengarang yang tidak berpihak kepada salah satu dari empat kubu besar di atas. Ketimbang memilih salah satu kubu, para penulis buku pengantar lebih mengutamakan untuk menguraikan karakteristik umum dari kultur. Beberapa karakteristik umum dari kultur yang disepakati bersama adalah bahwa kultur adalah:

  • dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok (culture is shared)
  • diperoleh dengan cara belajar (culture is learned)
  • diwujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik (culture is symbolic)
  • dipraktekkan sebagai perilaku yang lumrah (culture is taken for granted)
  • terintegrasi menjadi satu sistem (culture is integrated)
  • cara manusia beradaptasi dengan dunia (culture is adaptive), dan
  • selalu berubah (culture changes).

Daftar Pustaka
Ahimsa Putra, Heddy Shri (1999). “Budaya dan Kebudayaan”, dalam Wacana Antropologi, No.4, 1999:9.

Harris, Marvin (1979). Cultural Materialism. The Struggle for a Science of Culture. Vintage Books Edition.

Harris, Marvin (1980). “History and ideological significance of the separation of social and cultural anthropology,” dalam Beyond The Myths of Culture (Eric B. Ross, ed.). New York: Academic Press.

Keesing, Roger M.; & Andrew J. Strathern (1998). Cultural Anthropology. A Contemporary Perspective (Third edition). Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

Kleden, Ignas (1968). “Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional. Dilema Indonesia antara Kebudayaan dan Kebangsaan,” dalam jurnal Prisma, No. 8 Tahun 1986

Kroeber, A.L. & Clyde Kluckhohn (1952). Culture: A Critical Review of Concepts dan Definitions. New York: Vintage Book.

Mihardja, Achdiat K. (ed.) (1954). Polemik Kebudayaan. Djakarta: Perpustakaan Perguruan, Kementerian PP & K.

Tylor, Edward Burnett (1958/1871). The Origins of Culture (bagian pertama dari buku Primitive Culture), New York: Harper Torschbooks.

Williams, Raymond (1958). Culture and Society, 1780-1950. London: Chatto and Winds.

 

Sumber tulisan:

https://www.facebook.com/amri.marzali.1/posts/784834895342459

 

Ilustrasi Gambar:

https://www.freepik.com/premium-vector/indonesia-culture-illustration_1938098.htm

Previous PERAN INDONESIA DAN ANTISIPASI KULTURAL DALAM PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
Next KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURES XVII/2020: Menerawang Peradaban dan Kemanusiaan Pasca Pandemi Covid-19

You might also like

Kekinian

TENUN IKAT SUMBA: WARISAN BUDAYA YANG MENEMBUS ZAMAN

 TENUN IKAT SUMBA: WARISAN BUDAYA YANG MENEMBUS ZAMAN Masyarakat  penduduk Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, mengandalkan hidup terutama  dari kegiatan bertani atau beternak. Namun, menenun kain adalah mata pencaharian lain yang

Etnologi

Peranakan: an Indonesian Chinese

Peranakan: an Indonesian Chinese Peranakan is a term used for the descendants of the very early Chinese immigrants to the Southeast Asia region (in Indonesia and Malaysia today or known

Etnologi

Seni pertunjukan Bali pengaruh dari kebudayaan Tionghoa

SENI PETUNJUKAN BALI Seni pertunjukan Bali yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Tionghoa 1.    Tari Baris Cina Seni tari ini terlihat dari tata busana, gerakan gerakan tari dan musik pengiringnya mendapat

0 Comments

No Comments Yet!

You can be first to comment this post!

Leave a Reply