Rumusan Diskusi Panel: Darurat Keindonesiaan dalam Intoleransi
Rumusan Diskusi Panel
Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif
“Darurat Keindonesiaan dalam Intoleransi”
Kamis, 23 Desember 2016
Wahid Institute, Jakarta
Narasumber:
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto
Dr. Tri Noegroho
Geger Riyanto, MA
Panelis Penanggap:
Rocky Gerung, SS
Moderator:
Mulyawan Karim
Pada Kamis, 22 Desember 2016, Antropolog untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif menyelenggarakan acara diskusi panel “Darurat Keindonesiaan dalam Intoleransi” di Wahid Institute, Jakarta. Acara ini dilatarbelakangi kegusaran pada kian riuhnya ekspresi-ekspresi intoleransi di ruang publik. Sebagai pihak yang mempelajari kebudayaan dengan segala perwujudan serta ekspresinya, para antropolog yang tergabung dalam gerakan Antropolog Untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif menganggap perlu menyikapi fenomena kian maraknya intoleransi terhadap perbedaan ini.
Acara dibuka dengan sambutan dari koordinator diskusi Dr Kartini Sjahrir dan Direktur Wahid Institute Yenny Wahid. Saat menyampaikan kata sambutan, Yenny Wahid sekalian memaparkan hasil survey yang dilakukan Wahid Institute bekerja sama dengan Saiful Mudjani Research Center, yang memperlihatkan adanya perkembangan termutakhir yang menggelisahkan berkenaan dengan kondisi toleransi di Indonesia.
Dari sampel populasi yang dimaksudkan merepresentasikan masyarakat Indonesia, sebanyak 0,4 di antaranya mengaku pernah melakukan tindak pidana radikalisme. Lantas, sebesar 7,7 persen responden menyatakan mau melakukan tindakan radikal apabila dimungkinkan. Melalui survey ini juga ditemukan adanya kelompok-kelompok atau golongan-golongan sosial yang tidak disukai, yang mencakup LGBT, Komunis, Yahudi, Syiah, Wahabi, Kristen, dan Tionghoa. Mnrutu Yenny, pada kesempatan lain, Wahid Institute pernah menyebarkan kuesioner di antara para pelajar peserta kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam yang sedang berkumpul dalam sebuah acara jambore nasional. Hasil survey menemukan bahwa 68 persen dari mereka ingin berangkat berjihad ke Suriah, sementara sebanyak 30 persen dari responden menganggap bom Thamrin sebagai sebentuk jihad.
Menurut Yenny Wahid, perkembangan ini tak bisa dilepaskan dari kenyataan semakin luasnya ruang untuk menabur gagasan-gagasan radikal. Bahrun Naim, sosok yang diduga berada di balik sejumlah teror bom di Indonesia, berasal dari keluarga kelas atas dan mengenyam pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia. Artinya, ia merupakan bagian dari kalangan terdidik. Demikian juga dengan anak-anak peserta kegiatan ekstrakulikuler Rohani Islam yang menjadi subjek jajak pendapat Wahid Institute, yang sebagian besar menduduki peringkat sepuluh besar di sekolahnya. Dari temuan-temuan ini , Yenny mensinyalir apa yang menarik seseorang menjadi radikal adalah materi ceramah yang didengarnya serta pemahamannya yang keliru perihal jihad. Kampanye gagasan-gagasan intoleran ini tak bisa dibiarkan, dan kelompok-kelompok yang bersikap toleran seharusnya lebih aktif menyebarkan gagasan-gagasannya.
*****
Selanjutnya, Dr Tri Nugroho, pembicara pertama dalam acara diskusi, mencoba melakukan evaluasi terhadap kondisi kebebasan di Indonesia, yang menurutnya sudah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Sebagai contoh, Indonesia kini memberikan kebebasan kepada pers, kebebasan berorganisasi untuk rakyatnya, serta kebebasan untuk mendirikan partai politik. Ketiga macam kebebasan ini tidak ada pada masa sebelumnya. Akan tetapi, ketika cultural marker mereka digoyang, masyarakat menjadi sangat peka dan kehilangan toleransinya. Di Indonesia, cultural marker ini tak lain dari agama. Kontestasi akan segera menajam ketika perbincangan perihal agama dilibatkan, sebagaimana yang terlihat misalnya dalam perdebatan-perdebatan di media sosial tentang tenaga kerja Tiongkok dan gambar pahlawan non-Muslim di lembar uang rupiah baru.
Tri Nugroho juga menyarankan agar antropologi di Indonesia memperluas bidang perhatiannya dengan lebih giat mengkaji tentang golongan orang kuat. Selama ini antropologi identik dengan kajian terhadap kelompok atau golongan bawah dan lemah yang hidup di berbagai pelosok nenegri. Namun, dengan memperluas penelitian terhadap kelompok-kelompok politik nasional, LSM, dan kaum intelektual lewat penelusaran jejak keberadaannya melalui Internet, antropologi diharapkan dapat lebih memahami bagaimana logika suatu wacana dapat berkembang di Indonesia.
*****
Kemudian, pembicara kedua Geger Riyanto, MA mengajak peserta diskusi untuk berkaca kepada konflik-konflik etnoreligius di Indonesia. Terdapat sejumlah wilayah di Indonesia yang rentan dengan letupan sentimen etnoreligius dan karakteristiknya adalah di tempat-tempat ini jumlah penganut agama yang berbeda cukup berimbang. Situasi ini biasanya diperkeruh pula dengan masih dominannya pengaruh jaringan etnis terhadap pendistribusian sumber daya seperti proyek pemerintahan, jabatan, maupun kesempatan memperoleh penghidupan lainnya. Potret ganjil lainnya dari banyak konflik etnoreligius utamana pasca-Orde Baru adalah bahwa konflik-konflik ini selalau menyeruak dan diawali dengan perseteruan perebutan sumber daya. Namun, dalam ekskalasinya, agama memainkan peranan penting. Simbol-simbol agama tergulung ke dalam dan menciptakan kesan di antara banyak orang yang termobilisasi mengikuti konflik ini bahwa yang terjadi sejak awal adalah pembunuhan serta penyingkiran satu kelompok agama terhadap kelompok agama lain.
Pada wilayah yang komposisi pemeluk agamanya relatif tidak berimbang, situasi yang berbeda terjadi. Namun, tak pecahnya konflik etnoreligius terbuka bukan berarti hubungan di antara kelompok yang berbeda yang secara signifikan lebih baik. Intoleransi lebih acap menjelma menjadi diskriminasi serta pelucutan hak-hak mayoritas. Yang lebih berbahaya lagi, cultural marker menjadi komoditas sosial dan politik karena kapasitasnya memobilisasi massa.
*****
Panelis terakhir Prof Dr Sulistyowati Irianto menawarkan bahwa apa yang kita perlukan saat ini adalah pembangunan hukum yang berperspektif keadilan. Subjek dari pembangunan ini adalah kelompok marginal yang tak memperoleh privilese sosial sebagaimana kelompok-kelompok lainnya. Di Indonesia, belum ada akses yang merata terhadap keadilan. “Kita belum bisa bilang [ada] justice for all [di Indonesia],” tegas Sulistyowati. Akses terhadap hukum masih sangat timpang berdasarkan kelas sosial seseorang. Jaminan untuk mengakses keadilan ini menurutnya bertumpu pada empat pilar. Pertama, hukum yang adil bagi kelompok miskin dan tersisih. Kedua, literasi hukum—seberapa jauh kelompok miskin, masyarakat luas, serta penegak hukum mempunyai kepekaan terhadap hukum. Ketiga, akses kepada penegak hukum. Keempat, bantuan bagi orang miskin.
*****
Rocky Gerung, SS selaku panelis penanggap menganggap bahwa antropos kita sebenarnya tidak kacau namun logos-nya kacau. Hukum belum menjadi kesepakatan rasional untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Dalam banyak kesempatan, apa yang menjadi pegangan publik untuk menyelesaikan masalah bersama adalah kitab suci. Segregasi yang ada tak hanya berlangsung secara sosial melainkan juga secara mental. Padahal, menurut Rocky, negeri ini dilahirkan melalui pertarungan argumentatif yang sangat bermutu. Yang terjadi sekarang, kita bahkan tak bisa beragumentasi dengan baik. Karena hal ini, Rocky menganggap inisiatif yang dilakukan oleh teman-teman antropolog sebagai inisiatif yang perlu dihitung dalam sejarah—sebagai investasi untuk membangun rasionalitas masyarakat Indonesia.
*****
Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas yang hadir di antara peserta diskusi, turut memberikan pandangannya. Menurutnya, saat ini kita tengah terbelit dalam cultural trap. Terjadi tumpang tindih di antara kebudayaan tradisional dan kebudayaan demokrasi. Kita meronta untuk menyesuaikan diri dengan keadaan saat ini, termasuk menyadari mengapa kita sedari awal bisa hidup bersama. Dalam iklim demokrasi yang tak bisa menghasilkan pemimpin yang terlalu kuat, situasi kita mengalami komplikasi akibat semua pihak berteriak serta mendakwa kelompok lain dengan kerangka berpikir benar-salah. Antropologi, yang mempelajari manusia sebagai subjek yang mempunyai masa lalu dan masa depan, menurutnya, dapat memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan ini.
*****
Istiqomatul Hayati, redaktur situs Indonesiana, melihat bahwa ada satu persoalan kelompok yang sebelumnya tak memperoleh tempat dalam media arus utama kini memperoleh momentum melalui media sosial. Ia mempertanyakan bagaimana seharusnya kita dapat menyikapi ini. A. Dahana, ahli politik Cina, lantas mempertanyakan bahwa jangan-jangan keindonesiaan masih menjadi sebuah imajinasi. Kita menerima demokrasi secara terlalu tiba-tiba dan tak terbiasa dengan kulturnya sehingga yang terjadi adalah democrazy.
*****
Yando Zakaria menekankan bahwa sebagai satu bangsa kita memang selalu didasarkan pada sebuah klaim. Alhasil, bangsa merupakan proses yang berjalan terus-menerus. Pertanyaan pentingnya, lantas, apakah kita akan terus ada sebagai sebuah bangsa ataukah akan bubar di tengah jalan? Indonesia sudah memiliki kata kunci untuk menguntai kelompok-kelompok yang berbeda yakni kebhinekaan. Namun, kita mesti menyadari juga bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia juga berdimensi vertikal. Di satu tempat, masih ada masyarakat yang berburu meramu. Di tempat lain, terdapat kelompok cendekiawan hingga kelompok yang memegang saham di Wall Street. Perhatian kita kepada kebhinekaan perlu dibarengi juga dengan kepekaan terhadap kelompok yang terpisah dengan kita secara vertikal. Persoalannya, pada saat ini wacana ekonomi berkutat pada pertumbuhan alih-alih pembukaan akses bagi kelompok-kelompok tersisih. Kemerdekaan bahkan menyebabkan sejumlah orang kehilangan kekayaannya. Dengan kebijakan yang peka terhadap ketimpangan vertikal ini, ini kita dapat menyikapi kebhinekaan yang bukan hanya ringkih secara horizontal melainkan juga vertikal.
*****
Diskusi ini lantas diakhiri dengan pandangan-pandangan bahwa kita perlu merawat kebhinekaan dengan memperhatikan catatan yang muncul dari pandangan-pandangan antropologi. Pekerjaan rumah kita, menurut Tri Nugroho, adalah mengarahkan agama sebagai cultural marker untuk membangun sentimen-sentimen yang lebih positif terhadap hubungan dengan kelompok berbeda. Sementara, menurut Sulistyowati, kita masih memilki banyak pekerjaan rumah mempertimbangkan masih banyaknya kelompok yang belum bisa mengenyam kesejahteraan kendati Indonesia sudah merdeka 71 tahun. Dan, menurut Geger Riyanto, kita harus menjadikan semangat persaudaraan—memperlakukan pihak yang berbeda sebagai sesama manusia yang setara—tulang belakang bagi pembangunan nasion Indonesia ke depan betapapun nampak sulitnya. Secara historis, lagi pula kita memiliki kebhinekaan yang menggaungkan semangat persaudaraan di atas perbedaan sebagai framework untuk memulainya.
You might also like
SIARAN PERS: Antropolog Minta Presiden Akhiri Intoleransi
SIARAN PERS Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif (AUI) Antropolog Minta Presiden Akhiri Intoleransi JAKARTA, SENIN — Presiden diminta menindak tegas sesuai hukum siapa pun yang bersikap intoleran
Koentjaraningrat Memorial Lectures XV/2018: INTEGRASI NASIONAL DAN ANCAMAN YANG DIHADAPI
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah sering menghadapi berbagai ancaman disintegrasi. Merespon kenyataan sejarah ini, Prof. Koentjaraningrat, guru besar pertama antropologi Indonesia, memandang penting hadirnya integrasi nasional dalam proses yang terus
Tenun Maluku Tenggara: Evolusi Kain Tenun dalam Komposisi Warna
Gelar Karya Samuel Wattimena Tenun Maluku Tenggara: Evolusi Kain Tenun dalam Komposisi Warna “Mimpi saya sederhana. Mereka yang mempunyai keahlian menenun sebaiknya dimaksimalkan. Ini karunia Tuhan. Jika sudah
0 Comments
No Comments Yet!
You can be first to comment this post!