Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015: NARKOBA, SEKSUALITAS DAN POLITIK
KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURES XII/2015
Narkoba, Seksualitas dan Politik
Kamis, 15 Oktober 2015, 09.00 – 15.00
Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia
Latar Belakang
Februari 2015 lalu, situs berita Kompas.com mengutip kata-kata Presiden Joko Widodo yang berbunyi, “Ada sebuah situasi yang sudah sangat darurat. Semuanya harus kerja sama karena kondisinya menurut saya sudah sangat darurat,” ujar Presiden Joko Widodo dalam sebuah pertemuan di Jakarta, awal tahun 2015.[2] Masih dalam situs berita yang sama, Presiden mengungkapkan bahwa dasar pertimbangan memberlakukan Indonesia dalam situasi ‘darurat narkoba’ (narkotika dan obat-obatan berbahaya), karena tidak kurang dari 50 orang di Indonesia meninggal setiap hari akibat penggunaan narkoba. Jika di rata-rata, angka kematian akibat penggunaan narkoba berjumlah 18.000 orang per tahun.[3]
Sememtara itu, sejak setahun lalu (Juni 2014) dengan alasan melindungi anak-anak yang terkena dampak dari bisnis pelacuran dan potensi terpapar HIV/AIDS Walikota Surabaya, Tri Rismaharani menutup lokalisasi Gang Dolly yang ada sejak tahun 1960an. “Saya amankan karena mereka bercampur dengan perumahan, kawasan lokalisasi yang bercampur dengan perumahan itu berbahaya untuk mereka (anak-anak). Saya sakit mendengar cerita kondisi anak-anak,” ujarnya.[4]
Persoalan penggunaan narkoba di Indonesia diatasi melalui mekanisme yang dikenal dengan Harm Reduction atau Pengurangan Dampak Buruk.[5] Konsep ini digunakan sebagai respons atas tingginya angka prevalensi HIV/AIDS akan penggunaan narkoba terutama pada pengguna jarum suntik. Dengan mengedepankan penekanan penyebaran HIV/AIDS, para pengguna narkoba dibekali dengan informasi penggunaan jarum suntik steril yang dibagikan secara gratis, kondom dan penggunaan obat terapi substitusi seperti methadone dan subuxone.
Selama lebih dari satu dekade, Harm Reduction dianggap sebagai satu-satunya mekanisme yang paling efektif dalam penanggunglangan narkoba dan respons terhadap HIV/AIDS. Pemerintah Indonesia menerima suntikan dana bantuan luar negeri yang cukup besar untuk implementasi program ini. Hal ini dikarenakan Harm Reduction dinilai efektif karena tidak semata-mata menekankan pada aspek punitif yang berujung pada pemberian sanksi dan hukuman kepada pengguna, namun juga mengedepankan aspek kesehatan dan hak asasi manusia.[6] Saat ini dalam situasi ‘Darurat Narkoba’ paradigma yang dominan digunakan adalah paradigma zero tolerance. Menempatkan pengguna narkoba dalam posisi sebagai seorang kriminal dan penerapan sanksi tegas atas setiap aktifitas peredaran narkoba. Ironisnya bagaimana mungkin, kebijakan dalam hal mengurangi angka kematian akibat narkoba diatasi dengan kriminalisasi pengguna narkoba dan pemberlakuan hukuman mati?
Persoalan lain, Pekerja Seks Komersial (PSK) seringkali dilihat sebagai kelompok masyarakat penyebab kerusakan moral bangsa. Meski menggunakan kata ‘Pekerja’ dalam labelnya, prostitusi tidak pernah belum dilihat sebagai bentuk relasi profesional dengan pengaturan kewajiban dan terjaminnya hak-hak si pekerja. Penutupan Gang Dolly menuai respons dari dua kelompok masyarakat yan memiliki dua sudut pandang berbeda. Menurut kelompok pertama, tindakan penutupan lokalisasi dianggap sebagai salah satu upaya memutus rantai prostitusi dan kerusakan moral bangsa. Sementara itu, kelompok kedua berpandangan, kontrol dan pemantauan oleh para penjangkau, seperti penggunaan jumlah kondom dan pengecekan kesehatan para pekerja seks, menjadi sulit dan lemah. Beberapa aktivis bahkan mengemukakan, prostitusi tidak tutup dan menghilang, melainkan menyebar pada Gang Dolly-Gang Dolly lain yang terselubung.
Serupa dengan persoalan narkoba , persoalan seksualitas di Indonesia juga berada di tengah dua bandul paradigma yang saling bertolak belakang. Saat kasus kekerasan seksual, aborsi tidak aman, dan penyebaran penyakit menular seksual kian marak, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa pendidikan seks akan mendorong seks bebas pada remaja. Belum lagi penolakan hakim agung atas Revisi Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Di dalam Revisi UU tersebut, para aktivis menginginkan peningkatan batas umur pernikahan bagi perempuan yakni, 18 tahun. Hal ini dianggap sejalan dengan UU perlindungan anak. Dengan alasan “menghindari zina” revisi UU Perkawinan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Ada pula upaya-upaya pelembagaan nilai-nilai moral melalui diterbitkannya peraturan-peraturan daerah seperti di Sumatera Barat dengan Perda No 22 tahun 2003 tentang berpakaian muslim, di Tasikmalaya, Perda No. 7 tahun 2014 tentang tata nilai, yang di dalamnya juga menyinggung tentang cara berpakaian. Belum lagi perda syarian di Aceh yang telah lebih dahulu dikenal dan bersandar melalui nilai moral Agama Islam. Menjamurnya perda-perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang mengatur perilaku warga dengan mengacu pada nilai-nilai moral tertentu, seperti cara berpakaian, interaksi antar lawan jenis di ruang publik, hingga usulan-usulan tes keperawanan sebagai syarat kelulusan sekolah, merupakan fenomena sosial yang mewarnai geliat politik Indonesia.
Ilustrasi diatas menunjukkan kompleksitas dan centang-perenangnya persoalan yang ada di Indonesia terkait isu narkoba dan seksualitas. Tak dapat dimungkiri, saat ini kita hidup dalam dilema moral yang batas-batasnya kian mengabur. Tatkala berbicara tentang narkoba dan seksualitas, aspek sejarah memiliki peran penting dalam menggali pemahaman yang mendalam terkait dua persoalan tersebut. Perspektif historis yang didiskusikan, menjadi bernilai dalam memberikan pemahaman mendasar dalam analisa berpikir kritis mengenai isu narkoba dan seksualitas kontemporer di Indonesia. Hal ini lah yang menjadi dasar dari diskusi yang akan diangkat dalam Koentjaraningrat Memoriam Lecture XII/2015.
Tujuan
Koentjaraningrat Memorial Lectures kali ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa narkoba dan seksualitas merupakan dua hal berbeda yang merefleksikan fenomena sosial yang serupa. Selain sama-sama menjadi peyumbang pada peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS, keduanya juga sama-sama merupakan masalah yang memperlihatkan masih kurang berhasilnya pemerintah dalam memberikan jaminan kesetaraan dan perbaikan kehidupan bagi seluruh warga negara. Baik masalah narkoba maupun seksualitas sama-sama pula merupakan isu yang kerap digunakan penguasa mapun politisi dalam pernyatan-pernyataan propaganda mereka. Politik merupakan elemen penting yang dilihat dalam perdebatan mengenai narkoba dan seksualitas. Politik dalam seminar ini tidak sekedar membedah persoalan kebijakan nasional yang diambil atas isu narkoba terlarang serta seksualitas, akan tetapi melihat politik dalam keseharian.
Dalam lensa yang lebih luas, politik mengacu pada usaha-usaha kepengaturan[7] yang tidak hanya menciptakan orang-orang yang patuh pada peraturan yang ada, tetapi juga menyangkut pada upaya pengarahan perilaku tertentu yang terwujud dalam hubungan sosial sehari-hari. Artinya kepengaturan bekerja dengan cara mengarahkan minat dan membentuk kebiasaan, cita-cita dan kepercayaan seseorang. Kepengaturan membentuk suatu keadaan, yang dibuat sedemikian teratur sehingga orang akan berbuat seperti apa yang mereka seharusnya perbuat.[8] Saat ini politik hadir dalam keseharian orang-orang dan berkaitan dengan minat dan pembiasaan. Sehingga hal-hal yang sebetulnya politis (menyangkut kepentingan tertentu) menjadi acuan moral rutin[9] yang bila tidak digunakan maka perilakunya dinilai salah oleh orang lain.
Fenomena ini menuntun kami untuk mengajukan pertanyaan; Apa hakekat dari narkoba dan seksualitas dalam sistem politik, berpolitik? Seperti apa gambaran diskusi tentang narkoba dan seksualitas yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia saat ini?
Tema Narkoba, Seksualitas dan Politik akan dibahas dari berbagai aspek. Diperlukan satu diskusi yang membahas secara mendalam tentang polemik yang terjadi dari sudut pandang akademisi multi disiplin dan praktisi lintas sektoral untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang isu tersebut. Kuliah umum ini diharapkan memberi sumbangan bagi para pemerhati, aktivis, dan akademisi serta penentu kebijakan publik melalui berbagai masukan yang kaya akan analisis kritis.
Pembicara Kunci
Prof. Dr. Laurentius Dyson, Departemen Antropologi, FISIP Universitas Airlangga
Pembicara
Dewi Candraningrum, Ph.D., Jurnal Perempuan & Universitas Muhammdiyah Surakarta, Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu
Hilmar Farid, Ph.D., Institut Sejarah Sosial Indonesia, Perang yang Terlupakan: HIV/AIDS dan Politik di Tanah Papua
Prapto Raharjo, Ph.D., Pusat Penelitian HIV & AIDS, UNIKA Atmajaya Jakarta, Menjadi Pengguna Narkoba
Sari Damar Ratri, M.Sc., Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Harm Reduction dan Paradoks Penanganan Narkoba di Indonesia
Moderator
Irwan M. Hidayana, Ph.D., Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Dr. Khaerul Umam Noer, Ketua Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia
Perumus Hestu Prahara, M.Sc.
Tempat : Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia
Waktu : Kamis, 15 Oktober 2015, 09.00 – 15.00
PENYELENGGARA
Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI)
FORUM KAJIAN ANTROPOLOGI INDONESIA
Forum Kajian Antroplogi Indonesia (FKAI) adalah sebuah yayasan yang bertujuan ikut mengembangkan antropologi dan kajian budaya Indonesia. Didirikan oleh sejumlah antropolog dari berbagi perguruan tinggi di Indonesia dan sarjana antropologi yang berkarya di luar lembaga perguruan tinggi dan instansi pemerintah.
KOENTJARANINGRAT MEMORIAL LECTURES
Koentjaraningrat Memorial Lectures (KML) merupakan acara diskusi panel yang diselenggarakan untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa Prof. Koentjaraningrat, perintis dan pengembang pertama antropologi di Indonesia. KML merupakan agenda kegiatan tahunan FKAI yang sudah dilaksanakan sejak lembaga nirlaba ini resmi berdiri pada tahun 2004. Tema yang diangkat dalam acara diskusi yang juga merupakan kuliah umum ini biasanya terkait dengan masalah-masalah aktual yang tengah dihadapi bangsa.
[1] Copyright of Forum Kajian Antropologi Indonesia, 2015. This file is only used as Term of Reference/Proposal for ‘Koentjaraningrat Memorial Lecture XII/2015’ only and remains the property of Forum Kajian Antropologi Indonesia. No part of it may be reproduced by any means without prior written permission of Forum Kajian Antropologi Indonesia.
[2] Kompas.com, Rabu 4 Februari 2015.
[3] Ibid.
[4] BBC Indonesia, Juni 2014.
[5] Ratri, S.D. 2015, ‘When harm reduction as not been accommodating drug users’ needs’ dalam ISRSF 2014 Best Essay. ISRSF, Jakarta.; Ratri, S.D. 2014, Productivity promises, precarious realities: Ethnographic study of harm reduction implementation in Indonesia. Master thesis in Medical Anthropology and Sociology, University of Amsterdam; Sarasvita, R. 2009, Treatment Retention in Methadone Maintenance Program in Indonesia: towards Evidence-informed Drug Policy. Doctorate Thesis in Doctor of Philosophy. Department of Clinical and Experimental Pharmacology, School of Medicine, Faculty of Health Science, University of Adelaide.; Afriandi, I., T.Y. Aditama, D. Mustikawati, M. Oktavia, B. Alisjahbana, P. Riono, 2009, “HIV and injecting drug use in Indonesia: Epidemiology and national reponse.” Acta Medical Indones-Indones J Intern Med. Vol. 41. Supplement 1. July.
[6] Andriansyah, R., 2010, “Money Talks” A study on the Interaction between Drug Actors and Non-drug Actors within the Community in Bures, Jakarta, Indonesia. Master thesis in Amsterdam Master’s in Medical Anthropology, Amsterdam.
[7] diperkenalkan sebagai konsep governmentality oleh Foucault waktu ia berafiliasi di College de France antara tahun 1977-1984.
[8] Li, T. M., 2012, The Will to improve: Perencanaan, kekuasaan, dan pembangunan di Indonesia. Marjin Kiri: Jakarta Pusat. Hal 9—10.
[9] Robin, J., 2012, “Cultural Values” dalam A companion to Moral Anthropology, Didier Fassin (ed). John Willey & Sons, Inc-West Sussex. Hal 117—132.
You might also like
Dari Multikulturalisme Kolonial ke Kolonialisme Multikultural
Dari Multikulturalisme Kolonial ke Kolonialisme Multikultural Oleh Hilmar Farid Di Indonesia sendiri, politik kemajemukan budaya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era kolonial. Kolonialisme Belanda dibangun di atas dasar pertimbangan
Herawati Sudoyo: Asal Usul Keanekaragaman Manusia Indonesia
Asal Usul Keanekaragaman Manusia Indonesia Abstrak Sejarah hunian pertama manusia modern di kepulauan Asia Tenggara masih tetap menjadi topik perdebatan hangat. Dua model telah digunakan untuk menerangkan migrasi berurutan yang
Press Release: Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017
Press Release: Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII/2017 Kemajemukan dan Keadilan Kita dibiasakan untuk mengidentikkan kemajemukan dengan kerukunan, harmoni, persatuan. Pada kenyataannya, kemajemukan Indonesia merupakan produk dari kesinambungan sejarah yang tak luput
3 Comments
Nani Saptariani
Oktober 19, 06:57Saya hadir dalam KML XII ini, namun saya lupa tidak meregistrasi untuk mendapatkan dokumen paparan para narasumber. Sekiranya masih dimungkinkan, mohon saya dikirimkan juga bahan- paparan narasumbernya via email saya : sprullina@yahoo.com
Terima kasih sebelumnya
Salam hangat,
Nani S
admin
Oktober 19, 07:35Teimakasih Ibu Nina, kami akan memberikan notifikasi kapan makalah-makalah tersebut siap diunduh di sini.
MAKALAH & RUMUSAN Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015: NARKOBA, SEKSUALITAS & POLITIK | Forum Kajian Antropologi Indonesia
Oktober 19, 12:02[…] Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015: NARKOBA, SEKSUALITAS DAN POLITIK […]